13 Agustus 2020 lalu seperti biasa, sebelum ke kantor Mercusuar saya menyempatkan diri membaca informasi dunia. Mulai dari soal resesi ekonomi, politik mutakhir pasca ledakan Libanon hingga kebakaran tiba-tiba di Emirat Arab. Mata saya tertegun ketika Mahathir Mohammad (95 tahun) membentuk partai politik baru. Nama partainya belum resmi didekler. Disebut sebagai partai pejuang untuk melawan korupsi merajalela di Malaysia. (Tri Putra Toana – Pemilik Tri Media Grup).
MAHATHIR Mohammad, perdana menteri ke 4 dan ke 7 di Malaysia. Politisi ulung. Lahir 10 Juli 1925, dan 70 tahun karirnya dihabiskan di panggung politik Malaysia. Tenar ketika di UMNO dan mendirikan partai politik. Yaitu Partai Pribumi Bersatu Malaysia. Politik dramaturgi Tun lahir di Alor Sedah Malaysia itu kerap kritis dengan para penggantinya. Baik dengan Abdullah Ahmad Badawi dan terakhir Najib Rajak. Mahathir adalah pemimpin dunia tertua ke 10 setelah Ratu Elizabeth (92).
Sedangkan Rusdi Mastura, 8 Pebruari 1950 (70 tahun) adalah mantan Wali Kota Palu dua periode. Politisi ini tak hanya dikenal di Sulawesi Tengah. Beberapa politisi nasional di Jakarta banyak mengenalnya. Humble, kokoh berpendirian, egaliter dan menerima penghargaan sebagai Wali Kota penanganan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Rusdi, atau dikenal di Sulteng dengan sebutan akrab Kak’ Cudi itu lahir dari seorang beridiologi Masyumi. Kini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Sulteng.
Siapa Cudi, bagai generasi milenial adalah figur satu ini banyak dijadikan inspirasi. Lelaki dengan gaya sederhana dan meledak – ledak ini cara berfikirnya sangat egalaiter. Ia bahkan mengenalkan konsep – konsep berfikirnya soal idiologi sosialis yang mengembangkan diri dan kapitalisme yang mawas diri. Artinya, kata Cudi kaum yang ekonomi kuat dan mapan tidak bisa melupakan kekuatan kaum ekonomi lemah dan kekurangan. ‘’Banyak belajar di dunia bahwa revolusi akibat kerakusan dan ketidakadilan. Ekonomi kapitalis harus tumbuh dan selalu mawas diri jangan tumbuh angkuh. Ingat harus berjiwa sosial. Makanya saya sering menyebut sosialis yang mengembangkan diri hehehe,’’ satu kesempatan dengan wartawan Tri Media Grup (TMG), Andono Wibisono.
Rusdi Mastura 2015 bertarung politik di panggung Pilgub dengan pesaingnya ‘satu piring’ yaitu Longki Djanggola. Keduanya dikenal sahabat karib. Dalam berbagai kesempatan, Cudi sering mengeritik Longki ketika memimpin. Tapi juga sering memberikan pujian. ‘’Kita sahabat. Sahabat yang baik jangan dipuji terus. Bila salah diingatkan. Hubungan saya dengan Pak Longki baik-baik saja. Habis Pilkada 2015 lalu kita bersama – sama lagi membangun Sulteng,’’ terangnya.
Kini, dengan keputusan Partai Nasdem, Rusdi Mastura kembali dicalonkan sebagai bakal calon gubernur didampingi bakal calon wakil gubernur Ma’mun Amir. Beberapa partai politik yang dilansir sejumlah media yaitu PKS, Hanura, dan PKB. Bahkan disebut-sebut sejumlah partai politik akan merapat mendukungnya. Sementara Balogub lainnya yaitu Hidayat Lamakarate dan Anwar Hafid duet dengan Sigit Purnomo Said atau Pasha.
Banyak cerita yang menginspirasi kaum milenial dari seorang Cudi. Ia rela merogoh koceknya hingga menjual semua aset pribadinya hanya untuk membesarkan organisasi atau ketika mendengar keluh kesah rakyatnya. Ia pun mudah menangis bila bercerita soal – soal kemiskinan kota dan Sulteng. Persis Mahathir Mohammad, celetuk Ongki, Pemimpin Umum Harian Mercusuar.
Kini, Cudi yang dua periode menjadi Wali Kota hanya memiliki satu rumah dan satu buah mobil. Hidupnya begitu sederhana. Ia pun tak malu atau power syndrome menyapa warga, termasuk di warung – warung kopi. Baginya, jabatan itu amanah. Jangan salahgunakan agar kelak setelah tidak jadi pejabat tidak dijauhi masyarakat. ‘’Saya sekarang kemana – mana biasa saja hehehe. Mau kenapa? Saya tidak korupsi, tidak menyusahkan orang waktu jadi Wali Kota dan Ketua DPRD Palu. Bahkan saya pernah mau disuap kamu sudah pernah tulis, saya tidak mau,’’ ujarnya berapi – api.
KENAPA MAJU LAGI
Kenapa mau maju lagi jadi gubernur? Apa sih ekspektasinya? Rusdi Mastura lama menahan bicaranya. Raut mukanya tiba-tiba berubah merah dan seperti menahan sesuatu yang amat berat. ‘’Begini. Kalau mau jujur saya urus diri sendiri enak begini. Saya bebas jalan ke sana kemari. Tapi saya ini anak negeri ini. Saya belum bisa tenang bila Sulteng yang kaya raya ini masih ada orang miskin. Orang susah di sekitar tambang raksasa, masih ada mange mange saya kesana kemari menjual parang jual madu, saya sedih,’’ ujarnya dengan bibir gemetar dan dari kelopak matanya menetes air mata.
Ia pun bercerita pernah didatangi warga Palu di rumahnya pasca bencana alam 28 September 2018 lalu. Hanya sekedar meminta ‘ose’ (bahasa Kaili) atau beras dalam Bahasa Indonesia. ‘’Saya menangis. Kenapa masih sulitkah hanya sekedar segenggam beras untuk makan? Inilah yang memanggil saya. Apalagi setelah bencana gempa bumi lalu,’’ akunya. Ia pun akhirnya menerima putusan Nasdem untuk maju, setelah Ahmad H Ali, Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem yang juga putra Sulteng tidak diizinkan Surya Paloh maju sebagai gubernur.
Baginya, kemiskinan di lingkar tambang adalah fakta. Penyakit Ispa dan penderitaan di sekitar tambang Galian C adalah beban tidur malamnya. Rumah – rumah nelayan pesisir pantai yang kumuh dan tidak elok dipandang adalah mimpi – mimpi buruknya setiap malam. ‘’Kita ini memeiliki garis pantai yang panjang. Kekayaan laut Allah berikan luar biasa melimpah ruah. Tapi lihat penduduk pesisir pantai di Sulteng, apa sejahtera? Itu yang menggangu mimpi – mimpi malam saya dek,’’ ujarnya meledak ledak.
Cudi beriktiar, kelak bila takdir diberikan Allah SWT menjadi gubernur, ia akan memprioritaskan kesejahteraan rakyat Sulteng dengan menekankan menaikkan dana atau pendapatan fiskal daerah. ‘’Kita tidak boleh mati di lumbung padi. Kita tidak boleh haus di telaga susu. Kita akan naikkan tiga sampai empat kali lipat pendapatan asli daerah atau pendapatan fiscal Sulteng. Termasuk, mensejahterahkan potensi – potensi industri kreatif seperti media elektronik dan online. Kita akan datangi perusahaan – perusahaan nasional agar beriklan di media online milik anak anak negeri ini. Kalian pasarnya dan limbahnya di sini, iklannya kok di sana. Harus di sini,’’ terangnya.
Bagaimana dengan calon pesaingnya? ‘’Hidayat itu adik saya. Pintar dan bapaknya guru dana teman saya. Anwar itu adik yang baik. Agamanya bagus. Begitu juga yang lain. Kita semua ingin melihat Sulteng lebih maju dan hebat dan relegius. Kita memiliki ekspektasi yang sama. Tapi cara berbeda dan prioritas. Itulah demokrasi,’’ tutup Cudi.**