Pemerintah Tetapkan KKB Sebagai Teroris

  • Whatsapp

Jakarta (29/4). Menkopolhukam Prof Mahfud MD akhirnya menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua dinyatakan sebagai teroris.

Pernyataan ini juga mendapatkan dukungan dari Ketua MPR, BIN, Polri, TNI, dan tokoh adat masyarakat Papua yang datang ke Pemerintah guna melaporkan aksi kekerasan kelompok tersebut.

Menurut UU nomor 5 tahun 2018, menyebutkan bahwa yang dikatakan teroris ialah orang yang mengerjakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme, sedangkan terorisme ialah perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror atau rasa takut.

“Berdasarkan UU nomor 5 tahun 2018, apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya termasuk tindak pidana teroris,” ujarnya.

Ada beberapa implikasi yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari keputusan politik dimaksud.

  1. Menurut UU 5/2018, pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi domain pihak kepolisian RI. Dengan demikian maka operasi pemberantasi terorisme di Papua, menurut UU, adalah ranah tindak pidana sehingga Polri menjadi ujung tombaknya sedangkan TNI menjadi unsur pendukung yang diperbantukan ke Polri, khususnya dalam menekan aksi-aksi teror bersenjata dalam operasi militer selain perang.

Hal ini akan berbeda jika pemerintah menyatakan bahwa KKB adalah kelompok pemberontak bersenjata alias dissident armed forces. Jika ini yang dilakukan, maka ujung tombak dari operasinya adalah TNI, sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI dan juga aturan-aturan dalam hukum humaniter.

  1. Secara politik, Pemerintah Indonesia diuntungkan dengan memasukan KKB sebagai kelompok/organisasi teroris. Selama ini, banyak simpatisan atau pendukung ideologi radikal terorisme yang selalu memainkan narasi yang seakan-akan menuduh pemerintah hanya melabel teroris pada kelompok-kelompok Islam atau orang Islam saja. Dengan dimasukannya KKB Papua sebagai organisasi teroris maka narasi-narasi tersebut akan dengan mudah terbantahkan. Walaupun KKB masuk dalam kategori etnics-separatist terrorism, sedangkan kelompok-kelompok seperti JI, JAD, JAK dan lainnya adalah religiously-motivated terrorism, akan tetapi latar belakang agama merekalah yang dilihat oleh publik.
  2. UU 5/2018 tidak bisa dipisahkan dari UU 9/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Otomatis, Polri pun harus melihat aliran dana dari orang, kelompok atau organisasi, termasuk organisasi gereja di Papua yang ditengarai masuk ke orang atau kelompok yang berafiliasi dengan KKB.

Di satu sini ini sangat bagus dan memang merupakan amanat dari UU. Akan tetapi pemerintah sangat perlu untuk melakukan penegakan hukum dengan cerdas dan cermat karena tiap kesalahan yang dilakukan, misalnya menangkap tokoh agama Kristen/Katolik yang ternyata terbukti menyalurkan dana ke kelompok teroris Papua, bisa dipakai sebagai bahan propaganda yang luar biasa, termasuk untuk meningkatkan dukungan kolektif orang Papua lewat jalur-jalur gereja.

  1. Pemerintah lewat Badan Intelijen Negara harus memainkan skenario kontra propaganda sebagai antisipasi narasi-narasi propaganda yang akan dilahirkan, dan sudah pasti akan dilahirkan oleh kelompok teroris Papua.

Jika mulai berjatuhan korban-korban kolateral, maka corong-corong propaganda kelompok teroris Papua sudah pasti akan memainkan narasi bahwa pemerintah Indonesia melakukan ‘state-sponsored terror acts’ di Papua. Skenario planning harus selalu dilakukan.

  1. Menurut UU 5/2018, seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme perlu diberi program deradikalisasi, mulai dari dia saat menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana sampai dia menjadi mantan narapidana. Program deradikalisasi juga harus dilakukan kepada keluarga terdekatnya.

Di sini, menurut PP 77/2019 merupakan ranah dari Kemenkumham, Kejaksaan, Polri dan dikoordinir oleh BNPT. Modeling dari proses deradikalisasi bagi etnic-separatist terrorism itu harus dimiliki oleh ke 4 kementerian dan lembaga dimaksud.

Kalau dengan kelompok teroris agamis, biasanya tokoh agama yang dipakai untuk menderadikalisasikan ideologi radikal terorismenya. Nah, kalau untuk organisasi teroris seperti KKB Papua, apakah tokoh agama juga? Atau siapa? Ini PR dari BNPT..

  1. Dengan bandwidth yang bertambah dengan masuknya KKB Papua sebagai organisasi teror maka perlu dipertimbangkan penguatan dan penyesuaian Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri alias Zombie Hunters. Ini bukan kemauan Densus, tapi ini adalah implikasi dari masuknya KKB Papua sebagai organisasi teroris.

Densus perlu dibesarkan lagi dan dilakukan restrukturisasi. Misalnya dengan menaikkan struktur Densus menjadi lebih besar dan dipimpin oleh seorang Komisaris Jenderal Polisi atau bintang 3. ***

Reportase: Zein

Berita terkait