43 Tahun Palu: Bencana dan Adipura

  • Whatsapp
banner 728x90

SELAMAT berulang tahun Kota Palu ke 43 tahun (27 September 1978 – 27 September 2021). Sejahtera rakyatnya, sejahtera kotanya. Palu luasnya tak sampai 400 KM, warganya pun demikian. Tak sampai 400 ribuan jiwa. Palu ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Letaknya pun strategis. Di tengah – tengah Sulteng.

Tiga tahun terakhir, hari jadi Kota Palu hanya selang 24 jam berganti duka nestapa yaitu dikenal bencana Alam Pasigala (Palu, Sigi, Donggala). Terakhir juga Parigi Moutong. Tiga kabupaten dan satu kota itu 28 September 2018 lalu diguncang gempa sekuat 7,4 SR. Diiringi Tsunami dan pergerakan bawah tanah kuat menimbulkan sebuah nama bencana yang mulai lazim di telinga kita ‘likuifaksi’

Hari jadi Kota Palu dan bencana alam hanya selang 24 jam. Tiga tahun lalu Palu praktis menjadi kota mati. Jaringan internet tidak ada, listrik padam, penjarahan dimana – mana, Balaroa dikabarkan jumlah warganya hilang digulung likuifaksi dan hilang ribuan nyawa. Belum Petobo pun menerima nasib yang sama. Tanah berpindah, hampir puluhan meter dari titik kordinat, bangunan walet saya pindah. Dua anak saya hilang, ujar Ibu Hernita Arne Pankey satu ketika bincang dengan penulis.

Tiga tahun terakhir Palu mulai membenahi. Pusat menggelontorkan sejumlah dana bantuan, perumahan sementara sampai hunian tetap. Sanitasi dan bantuan pangan, kesehatan dan trauma psikologis warganya. Anak bungsu saya, hingga kini bila mendengar suara motor, truk atau mobil besar lewat belakang rumah langsung berlari gugup dan ketakutan. Ya trauma bencana itu masih sangat melekat pada anak – anak yang selamat tragedi jelang Magrib itu.

Pasca bencana Palu membenahi kotanya. Bahkan jembatan yang sudah hancur diterjang tsunami pun selang enam bulan tetap dilunasi. Berujung polemik dana Rp14 miliar dari APBD 2019 itu. Jaksa pun putuskan SP3. Palu memang unik. Punya prinsip biar tak makan asal jangan punya hutang. Begitu kira – kira.

Sejumlah ruas jalan dan drainase diperbaiki. Bahkan yang sudah lebar dilebarkan. Dibuat indah di siang hari. Walau malam tak kelihatan karena masih berhutang ke PLN sekira Rp16 miliaran lebih. Entah sekarang? Sudah dibayar atau belum.

Dua tahun pasca bencana Pilkada digelar serentak. Termasuk Palu dan Sigi. Palu berganti pimpinan. Taglinenya Palu Mantap Bergerak. Tujuannya, 2022 menyabet Adipura sebagai kota bersih dan indah. Artinya, empat tahun pasca bencana besar Palu memiliki ekspektasi besar.

Di usia 43 tahun dan di bawah kepemimpinan duet Hadi – Reni, hingga 2021 masih banyak meneruskan program Pemkot sebelumnya. Pembenahan infrastruktur, mengganti sejumlah pejabat kelurahan dan lainnya. Tetapi, yang patut diberi apresiasi bahwa Palu dengan cepat lolos dari gelombang pandemi kedua antara Juni – September hingga landai ke level tiga.

Ekspektasi menyabet gelar Kota kecil Adipura seperti Kota Luwuk Kabupaten Banggai memang penting disemangatkan. Digelorakan. Soal nantinya berhasil atau tidak itu bukan urusan kita. Caranya setahun ini warga Palu harus mantap bersama – sama bergerak. Jangan hanya pemimpinnya saja tapi juga warganya.

Lantas bagaimana dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM) Palu 2020 versi BPS? IPM Palu 2020 81, 47. Artinya, penduduk dapat mengakses pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Tapi bila dibandingkan dengan pertumbuhan IPM kabupaten se Sulteng, Palu pertumbuhan IPM negatif yaitu minus 0, 3 persen.

Tapi, pengeluaran warga Palu 2020 mengalami penurunan dari 2019. Saat ini pertahun hanya 14 jutaan. Artinya bila dibagi 12 bulan maka pengeluaran warga Palu hanya Rp1,1 juta/bulan. Turun satu digit 2019 yaitu 15 jutaan/tahun. Artinya makin menurun pengeluaran warga Palu. Mengapa menurun pengeluaran? Tentu dikarena turun atau sulitnya pendapatan.

Peta data BPS 2020 setidaknya kita bisa jadikan cerminan. Betapa berat meresonansi Palu merebut Adipura. Tidak hanya soal kemampuan anggaran yang mendukung ‘impian Adipura’ tapi juga menata, membangun kesadaran bersama, mereformasi birokrasi yang Gercep, bahkan soal remeh temeh dan klasik, apa itu? Sampah dan parkir. Kotanya masih semrawut. Sampah diangkut ketika warga beraktifitas. Akibatnya bau tak sedap di pagi hari mengalahkan sejuknya lembah. Demikian juga tata kelola parkir. Tidak jelas hingga kini model yang akan digunakan. Semua jalan masih wilayah parkir. Istilah saya ‘Bila ada kemauan pasti ada jalan. Bila ada jalan di situ ada juru parkir’

Meresonansi gerakan Palu Bergerak Bersama mesti ditingkatkan levelnya hingga 7 (tujuh). Di mulai dari bawah lingkungan RT. Beri insentif RT dan RW serta kelurahan. Beri daya dukung. Distribusi anggaran yang jelas. Yakinkan DPRD. Ajak bersama partai politik agar anggaran pro ke tujuan.

Kedua; mesti ada prioritas. Mana dahulu setahun ke depan? Agar diraih Adipura. Ada skala prioritas. Adipura atau penguatan ekonomi warga Palu agar IPM pengeluaran naik menjadi 24 juta/tahun atau dua juta/bulan.

Ketiga; Wali Kota Hadianto masih kurang berani. Padahal latar belakangnya pengusaha. Polemik pembangunan New Mal Tatura mestinya tidak perlu. Sebagai pengusaha pasti pertibangan kapan cepat benefit, cash flow jalan normal dan break event point (BEP) agar bisa nyumbang PAD.

Atau lebih revolutif! Lobi DPRD jual saja PT CNE dan hasilnya jadikan modal membangun Palu. Dengan demikian Palu mendapat dua keuntungan. Dapat modal segar dengan melepas aset dan Palu memiliki Mal karena swasta pasti akan genjot pembangunannya.

Saya tutup tulisan ini; Masa Kini adalah Masa Depan. Siapa yang Tidak Merebut Masa Kini, Ia berada di Masa Lalu. Dan Siapa Yang Mengisi Masa Kini, Ialah pewaris Masa Depan. Dirgahayu Palu kotaku. ***

Oleh : andono wibisono (praktisi media)

Berita terkait