Jakarta,- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa masyarakat Indonesia akan makin sulit untuk memiliki rumah di tengah tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral.
Bersamaan dengan meningkatnya inflasi, suku bunga acuan bank sentral di beberapa negara juga ikut terkerek. Hal ituoun akan berimbas juga terhadap melonjaknya suku bunga kredit di sektor perumahan.
“Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi,” jelas Sri Mulyani, dikutip Minggu (10/7/2022).
“Maka masyarakat akan semakin sulit untuk membeli rumah,” ujar Sri Mulyani melanjutkan.
Lalu solusinya apa?
Sri Mulyani mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membangun policy framework atau kerangka kebijakan dan mengembangkan aturan hingga instrumen dalam membangun ekosistem pembiayaan perumahan di Indonesia.
“Bank Indonesia dalam hal ini dapat melakukan melalui policy macroprudential-nya yaitu dengan menurunkan risiko dari Aset Tertimbang Menurut Risiko atau ATMR-nya untuk sektor perumahan dan melonggarkan loan to value,” ungkapnya.
Tujuannya, kata Sri Mulyani adalah agar lebih banyak yang berani mendanai sektor perumahan karena resikonya diturunkan bobotnya oleh bank sentral kita di dalam prudential frame- nya.
Kerja sama yang erat dengan bank sentral melalui makroprudensial, OJK melalui mikroprudensial, dan Kementerian Keuangan dari sisi instrumen keuangan negara maupun dengan industri dan peran para investor itu menjadi sangat penting.
Dengan begitu persoalan masyarakat yang kesulitan mendapatkan rumah bisa teratasi. Hanya saja produk sekuritisasi yang diciptakan harus tetap bertanggung jawab, di mana underlying-nya harus tetap sound, risk management harus tetap baik dan juga transparan.
“Kita dapat belajar dari kegagalan Amerika Serikat pada tahun 2008-2009 di mana asset backed security-nya mereka nggak tahu lagi apa aset yang ada di dalam security nya itu dan bahkan mereka tidak bisa mengetahui berapa risiko dari aset tersebut,” tuturnya.
“Ini ekstrem yaitu excessive securitization dengan risk framework yang sangat mungkin tinggi, kita berharap Indonesia belajar dari hal tersebut,” kata Sri Mulyani melanjutkan.
Sri Mulyani menuturkan bahwa sekuritisasi pada dasarnya adalah bagaimana sebuah aset KPR yang jangka panjang 15 tahun akan dicicil oleh pemiliknya, dan itu menjadi underlying asset yang bisa di-issued sebuah surat berharga baru yang kemudian dijual di secondary market yang disebut Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).
Aset di sini yaitu mortgage bukan rumahnya, namun cicilan tiap bulannya itu yang kemudian bisa di-package dan dibentuk dalam bentuk security baru surat berharga baru yang kemudian bisa dibeli oleh investor.
“Kemudian, investor bisa meng-assess beberapa risikonya dan rate of return dia bisa menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP yang kemudian dia bisa meng-create mortgage baru lagi. Hal itu keinginan untuk mengejar kebutuhan yang begitu besar, 12 juta backlog sementara kemampuan kita untuk menggunakan APBN saja tidak akan bisa mengejar secara cepat,” jelasnya. ***
Editor/Sumber: Rizky/CNBC Indonesia