Jakarta,- Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kini belum juga menaikkan harga pertalite dan solar. Padahal, seperti digembar-gemborkan oleh menteri-menterinya kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut seharusnya diputuskan akhir bulan lalu.
Sebut saja, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga terakhir Menteri ESDM Arifin Tasrif yang menyebutkan bahwa pengumuman akan dilakukan akhir Agustus 2022.
Bulan berganti, alih-alih naik, BBM nonsubsidi pertamax turbo cs malah lebih dulu ‘mencuri’ perhatian karena harganya turun. Pertamax turbo turun bersama dexlite dan Pertamina dex.
Pemerintah juga mengumumkan menggelontorkan bansos ekstra berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada lebih dari 20 juta dan bantuan subsidi upah (BSU) bagi sekitar 16 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, termasuk subsidi ojek dan nelayan lewat Dana Transfer Umum (DTU) pemda.
Kemarin, Kamis (1/9/2022), Jokowi bahkan menyambangi Papua sekaligus untuk menandai penyaluran BLT. BLT diberikan sebesar Rp600 ribu untuk masing-masing keluarga penerima manfaat (KPM).
Kemudian, Direktur BPH Migas Patuan Alfon Simanjuntak juga menegaskan revisi final Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM sudah disampaikan ke meja Kementerian BUMN.
Berbagai sinyal itu ditangkap oleh masyarakat dan mereka berbondong-bondong membentuk antrean di SPBU Pertamina. Mereka memborong pertalite sebelum harga naik.
Namun, hingga kini, baik pertalite atau solar masih dihargai sama, yakni Rp7.650 per liter untuk pertalite dan Rp5.150 per liter untuk solar subsidi.
Lantas, kondisi ini mengundang banyak pertanyaan, apa alasan pemerintah menunda? Toh, sudah semua amunisi disiapkan.
Pertanyaan itu dijawab oleh Jokowi yang mengatakan harga BBM bersubsidi belum naik karena masih dalam kalkulasi alias hitung-hitungan.
“BBM semuanya masih pada proses dihitung, dikalkulasi dengan hati-hati. Masih dalam proses dihitung dengan penuh kehati-hatian ya,” kata Jokowi di Papua.
Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menduga maju mundur rencana pemerintah menaikkan harga BBM dipengaruhi faktor politik.
Ia bahkan mengendus tidak ada kekompakan internal pemerintah antara satu menteri dengan menteri lainnya. “Terlalu banyak yang bicara,” kata Bhima.
Menurut dia, penundaan pengumuman kenaikan harga BBM menunjukkan kalau pemerintah belum percaya diri untuk menaikkan harga.
“Nah dengan ping pong seperti ini, justru membuat antrean panjang karena panic buying membeli di luar batas kewajaran. Begini, justru akan mempercepat habisnya kuota BBM,” jelasnya.
Selain itu, Bhima juga mengingatkan rencana pengumuman kenaikan BBM terjadi mendekati masa pemilu. “Kalau ada menteri yang mengumumkan kenaikan harga akan lebih tercatat sebagai menteri yang tidak populis, jadi pertimbangannya akan lebih ke sana,” imbuhnya.
Selain faktor tersebut, ia menilai faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah kekhawatiran lonjakan inflasi. Meskipun pada Agustus terjadi deflasi, namun inflasi tahunan masih tinggi.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga menilai keputusan menaikkan harga BBM memang tidak tepat dilakukan saat ini. Wajar saja, pemerintah maju mundur memutuskan penyesuaian harga.
Apalagi, kebijakan itu akan memiliki dampak besar bagi ekonomi, sehingga perlu ekstra hati-hati. “Pertimbangannya yang paling besar adalah dampak terhadap inflasi dan kelas menengah bawahnya,” terang dia khawatir.
“Kalau dikaitkan politik tentu saja itu adalah kalangan yang mayoritas, ini akan berdampak pada popularitas pemerintah saat ini,” kata Faisal seraya menambahkan bahwa keputusan menaikkan harga pertalite dan solar saat ini memang pilihan sulit.
Hal senada disampaikan Ekonom Indef Nailul Huda. Ia mengatakan kebijakan pemerintah yang maju mundur itu karena pemerintah memiliki pilihan yang cukup sulit.
Pertama, kenaikan harga BBM ini jelas akan membuat harga barang dan tarif transportasi akan ikut terkerek. Imbasnya adalah inflasi yang tidak terkendali. Saat ini inflasi sudah mencapai 4,69 persen year on year (yoy), dan jika kenaikan itu dilakukan akan membuat inflasi lebih tinggi bahkan tembus 7 persen sepanjang 2022.
Kedua, jika BBM tidak naik, APBN akan makin terbebani. Belum lagi tingginya harga minyak dunia di pasar global. Menurutnya, kenaikan harga BBM ini sangat bergantung dari political will pemerintah. Belum lagi, Jokowi juga terjebak janji untuk tidak menaikkan harga BBM saat kampanye. ***
Editor/Sumber: Rizky/cnn indonesia