Jakarta,- Bank Dunia atau World Bank kembali menyampaikan ‘kabar buruk’. Dunia dikabarkan tengah bergerak menuju resesi pada 2023.
Kenaikan suku bunga bank-bank sentral secara bersamaan menjadi penyebab. Suku bunga dinaikkan untuk memerangi inflasi yang terus-menerus melonjak.
“Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, Cina, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam,” tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).
“Bahkan pukulan moderat terhadap ekonomi global selama tahun depan dapat mendorongnya ke dalam resesi,” tambah Bank Dunia.
Secara rinci, Bank Dunia melihat kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Tapi itu, diyakini, tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.
Jika gangguan pasokan dan tekanan pasar tenaga kerja mereda, tingkat inflasi inti global (tidak termasuk energi) tetap akan bertahan di sekitar 5% pada 2023. Itupun masih hampir dua kali lipat rata-rata lima tahun sebelum pandemi.
Bank Dunia mengatakan untuk mendorong inflasi lebih rendah, bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase. Ini di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.
Tetapi peningkatan sebesar itu, bersama dengan tekanan pasar keuangan, akan memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Di mana di 2023, PDB dunia akan menjadi 0,5%.
Bakal ada kontraksi 0,4%. Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.
Studi tersebut menyarankan bank sentral untuk bisa mengomunikasikan keputusan kebijakan mereka dengan jelas. Sementara pembuat kebijakan harus menerapkan rencana fiskal jangka menengah yang kredibel dan terus memberikan bantuan yang ditargetkan kepada rumah tangga yang rentan.
Situasi ini diyakini akan sangat menganggu emerging markets dan negara berkembang. Pernyataan dipertegas Presiden Bank Dunia dan Wakilnya di laporan yang sama.
“Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi,” ujar Presiden Bank Dunia David Malpass.
“Tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,” tegasnya lagi.
“Para pembuat kebijakan di negara emerging markets dan berkembang harus siap mengelola potensi dampak dari pengetatan kebijakan yang sindrom secara global,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan dan Industri Berkeadilan, Ayhan Kose.
Sebelumnya di Juli, IMF juga memberikan ramalan tak sedap soal ekonomi global. Di mana ekonomi dunia hanya akan tumbuh 3,2% di 2022 dan 2,9% di 2023. ***
ED/Sumber: RK/CNBC Indonesia