Kota Palu dan sebagian besar daerah di Sulawesi Tengah, kata Asep tercatat mengalami kenaikan suhu 1,1 derajat dari anomali rata-ratanya. Kenaikan suhu di Palu bahkan pernah mencapai rekor tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni 39,7 derajat dan diprakirakan masih akan terus muncul rekor kenaikan suhu.
“Yang paling dirasakan juga adalah menurunnya kualitas udara dan kerusakan lingkungan yang memperburuk dampak krisis iklim, selalu ada residu buruk akibat pembangunan termasuk industri pertambangan. Kami berharap kepedulian dan upaya pemerintah untuk mengembalikan kondisi lingkungan,” kata Asep. Degradasi lingkungan juga disebut telah nyata terjadi akibat perambahan-perambahan hutan dan alih fungsi kawasan.
BPBD Sulteng menyebut dampak nyata degradasi lingkungan tampak dari data kebencanaan terutama banjir dan longsor yang meningkat dari tahun ke tahun yang dominan terjadi di sekitar daerah terjadinya perambahan.
“Sepanjang tahun 2023 misalnya tercatat terjadi 136 bencana, sedangkan tahun 2024 sejauh ini telah terjadi 200 kejadian,” Kepala Pelaksana BPBD Sulteng, Akris Fattah Yunus mengungkapkan.
Melindungi hutan yang tersisa dan mengembalikan fungsinya serta tutupan lahan menurut Asep dan Akris menjadi langkah penting mitigasi krisis iklim dan bencana.
Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan SK 869 tahun 2014 memiliki luas kawasan hutan 4.410.293,84 (4,4 juta) hektare atau 72,22 persen dari total luas daratan. Namun deforestasi masih menjadi ancaman nyata terus terjadi. BPS mencatat tahun 2013 hingga 2022 saja angka deforestasi netto Sulteng seluas 68.281,5 hektare. ***








