Kejagung Tolak Gabung ke Densus Antikorupsi Polri

  • Whatsapp
banner 728x90

KADIV Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menanggapi dengan legawa penolakan Kejaksaan Agung mengirimkan jaksanya ke Densus Antikorupsi Polri. Menurutnya, saat ini fokus Polri adalah merealisasi pembentukan densus, sementara keterlibatan jaksa dalam penanganan perkara di densus hanya rencana teknis.

“Ya, nggak apa-apa. Sekarang kan kita juga punya Dittipikor (Direktorat Tindak Pidana Korupsi), Dittipikor cuma dinaikkan dengan kekuatan lebih besar dan dikendalikan Kapolri, lebih efektif. Kalau jaksa nggak mau terlibat, nggak apa-apa,” kata Setyo di gedung Divisi Humas Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (11/9/2017). “(Keterlibatan jaksa) masalah teknis,” sambung dia.

Setyo mengatakan, dengan ditolaknya ide melibatkan jaksa di Densus Antikorupsi Polri, proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi nantinya akan sama dengan yang sekarang berlangsung. Yaitu polisi tetap harus melakukan proses pelimpahan berkas ke Kejaksaan Agung.

“Iya (prosesnya) sama dengan Dittipikor. Sekarang Dittipikor juga sudah ada, dan kita juga menyelaraskan dengan kejaksaan,” ujar Setyo. HM Prasetyo menolak Kejagung bergabung ke Densus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, Densus Tipikor akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lain.

“Saya ingin sampaikan bahwa kejaksaan dan jaksa tidak selayaknya ditarik untuk bergabung dalam lembaga baru Polri tersebut karena dengan demikian akan mengurangi independensi masing-masing penegak hukum. Kami khawatir dengan adanya tumpang tindih dan terdegradasi satu sama lain institusi penegak hukum yang ada,” kata Prasetyo.

Hal tersebut disampaikannya saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, tadi siang. Densus Tipikor sendiri merupakan usulan Polri. Wacana pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi masih terus digodok Polri. Pihak Polri juga tengah mengkaji apakah nantinya Densus Anti-Korupsi ini akan memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, penyadapan merupakan salah satu tehnik untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan sengan kasus extraordinary crime, seperti korupsi. “Nanti mungkin kita juga akan mengembangkan teknik, taktik yang terkait dengan korupsi. Korupsi ini kan extraordinary crime, harus ditangani,” ujar Setyo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Selama ini hanya ada tiga lembaga yang berwenang melakukan penyadapan yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Badan Intelijen Negara (BIN). Setyo mengatakan Polri tengah mengkaji soal kewenangan ini jika diterapkan di Densus Anti-Korupsi nantinya. “Nanti akan kita bahas, akan kita kaji, sampai sejauh mana polisi bisa melakukan (penyadapan),” ungkapnya.

Dia mengatakan, pembicaraan soal kewenangan menyadap di Densus Antikorupsi masih jauh. “Itu nanti, sekarang wacananya adalah pembentukan dulu, dengan nanti kewenangan dan sebagainya bisa dibahas lebih lanjut,” ujarnya. Menurut Setyo, Densus Anti-Korupsi ini dibentuk agar Polri dapat mengungkap kasus korupsi lebih baik. Pihak Polri sendiri telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan juga KPK terkait rencana pembentukan detasemen khusus ini. “Diharapkan ada koordinasi yang lebih intens, koordinasi yang lebih baik lagi dengan kejaksaan, seperti di KPK juga. Sehingga mempercepat proses,” lanjutnya.

Polri sendiri memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi yang memiliki fungsi tugas dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Namun, dengan adanya detasemen khusus antikorupsi ini, diharapkan penanganan kasus korupsi dapat diselesaikan lebih cepat dan lebih baik lagi. “Walaupun Direktorat Tipikor sekarang sudah melakukan dengan jajarannya yang sampai ke Polda dan ke Polres, sudah menangani 1.000 lebih kasus, tetapi dengan densus nanti mungkin kita lebih masif lagi, bekerja sama dengan KPK, mana yang tidak ditangani KPK, kita tangani,” cetusnya.

Tidak menutup kemungkinan, Densus Anti-Korupsi ini juga mengadopsi cara bertindak KPK dalam pengananan kasusnya, seperti melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). “OTT itu kan hanya teknik dan taktik, tidak harus OTT pun bisa, sepanjang kita mendapatkan alat bukti yang kuat,” tandasnya. KPK mendukung usulan pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri. Namun KPK ingin kerja sama dengan Polri tetap berjalan.

“Ke depan kalau memang Kepolisian ingin membentuk sebuah tim khusus melakukan pemberantasan korupsi, KPK tentu bisa mendukung dengan kewenangan koordinasi dan supervisi seperti yang pernah kita lakukan sebelumnya,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (24/5/2017).

Dukungan tersebut juga dapat berbentuk pelatihan bersama dan pemeriksaan ahli, selama masih dalam lingkup UU 30 Tahun 2002. Namun KPK berharap rencana ini tidak akan saling membenturkan kewenangan para penegak hukum antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Terlebih dengan telah adanya nota kesepahaman antara ketiganya.

“Prinsipnya kalau memang Kepolisian membutuhkan dukungan dari KPK, maka kami akan berikan itu, karena sudah ada nota kesepahaman juga antara Polisi, Jaksa, dan KPK. Namun jangan sampai lembaga penegak hukum dibenturkan oleh pihak-pihak lain dan akan merugikan pemberantasan korupsi,” ungkap Febri. Febri menegaskan sudah ada aturan dalam UU yang menggariskan kinerja penegak hukum hingga tidak tumpang tindih. Kewenangan KPK tentu berbeda dengan Kepolisian.

“Seperti diatur di Pasal 11 UU 30 Tahun 2002 misalnya, KPK hanya berwenang untuk menangani kasus korupsi dengan indikasi kerugian keuangan negara di atas Rp 1 miliar, kemudian korupsi itu dilakukan oleh penyelenggara negara dan penegak hukum, atau menarik perhatian publik,” jelasnya.

Selain itu dalam Pasal 50 UU 30 Tahun 2002 juga telah diatur ketika penyidikan pertama kali dilakukan oleh Kepolian dan Kejaksaan maka yang dilakukan KPK adalah mengoordinasikan perkara ini.  Febri juga menegaskan KPK yang berdiri atas kata ad hoc bukanlah lembaga yang hanya berdiri sementara. Karena ad hoc yang dimaksud menjelaskan soal pembentukan untuk tujuan tertentu. Hal ini jelas tertuang antara lain dalam TAP MPR, UU 31 Tahun 1999, UU KPK, dan peraturan yang lain termasuk putusan MK.

Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) kemarin (23/5), Polri dikritisi Komisi III DPR kemarin mengenai penanganan tipikor di Bareskrim Polri yang belum memuaskan. Kapolri Jenderal Tito Karnavian berujar kendalanya adalah anggaran biaya yang terbatas.

Tito membandingkan anggaran penyidikan kasus Tipikor di Polri yang sebesar Rp200 juta dengan anggaran penyidikan di KPK yang berapa pun besarannya ditanggung negara. Tito kemudian berpendapat, pembentukan satuan tugas (Satgas) untuk penanganan kasus korupsi di Polri lebih efektif dibanding struktur Direktorat Tipikor itu sendiri. Hal ini kemudian berujung pada pernyataan kesanggupannya membentuk Densus Tipikor. **

Sumber: detik.com 

Berita terkait