Sumber : detikfinance
KAILIPOST,COM,- SUMBER- REKAMAN Percakapan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir bocor ke publik. Rekaman itu kemudian membuat publik heboh karena diduga membicarakan ‘bagi-bagi fee’.
Sebenarnya, merekam pembicaraan atau biasa disebut menyadap bukan perkara yang sulit di era sekarang ini. Lantaran, untuk mendapatkan alat penyadap sudah gampang.
Berdasarkan penelusuran detikFinance, Minggu (29/4/2018), sejumlah toko online ternyata menjual alat penyadap. Dalam sebuah akun toko online bernama jellybean misalnya. Toko tersebut terang-terangan memasang iklan bertuliskan ‘Bagus Alat Penyadap Kecil Sadap Suara Tanpa Pulsa Ukuran Koin’. Harga alat sadap tersebut Rp 187.500.
Lebih lanjut, di dalam deskripsi barang pun dijelaskan tentang cara penggunaannya. Pemilik toko menjelaskan, cara menggunakan alat sadap ini hanya tinggal memasang baterai kemudian otomatis alat sadap hidup.
“Letakan alat sadap di TKP di bawah meja atau di tempat tersembunyi lainnya. Untuk monitor alat sadap kita pakai HP yang ada radionya,” tulis pemilik toko online tersebut. Adapula toko online bernama Keyla Shop Gresik GKB. Harga alat sadap yang dijual Rp 247.000.
Dalam deskripsi barang dijelaskan, alat ini bekerja menembus dinding kayu, baja, tembok, dan lain-lain.
“Sangat sensitif, jadi hati-hati waktu mengatur audio, secara perlahan, jangan menimbulkan ketidaknyamanan untuk telinga anda,” tulis pemilik toko.
Beredarnya rekaman suara percakapan telepon antara Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut PLN Sofyan Basir mengundang pro-kontra di masyarakat.
Rekaman yang berisi perbicancangan tentang proyek itu sendiri masih sumir. Pengamat keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa rekaman itu harus diteliti apakah asli atau tidak.
Pratama menambahkan, rekaman audio ini memang bisa berkembang liar, karena keluar dalam keadaan tidak ada kasus hukum sama sekali. Akibatnya, tidak ada kewajiban aparat hukum untuk memeriksa.
“Pertama yang paling penting adalah memastikan darimana asal muasal audio ini. Rekaman lewat smartphone atau ada yang sengaja menyadap. Bila ada yang menyadap jelas ini berbahaya, karena baik Ibu Rini maupun Bapak Sofyan Basir ini keduanya pejabat negara dan petinggi BUMN,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC ini, Minggu (29/4/2018). Ditambahkan Pratama, peristiwa ini bisa menjadi liar karena tidak ada kasus hukum yang mendahului. Jadi aparat hukum tidak bisa melakukan pemeriksaan dan forensik begitu saja. Pihak di luar aparat hukum bisa saja melakukan forensik audio untuk memastikan apakah suara dalam rekaman tersebut memang benar Menteri Rini dan Sofyan Basir.
“Forensik digital ini penting untuk memastikan keasilan suara tersebut. Apakah ada upaya membuat fake audio, karena sekarang sudah ada teknologi deepfake untuk memalsukan wajah yang bisa dibuat menjadi video palsu,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Aparat sendiri dinilai bisa melakukan pemeriksaan meski tidak ada kasus. Menurut Pratama bisa karena dua alasan, yaitu alasan kepentingan umum dan kepentingan negara. Kepentingan umum agar publik mengetahui benar tidaknya suara ini. Kasus Freeport, katanya, mengingatkan kita pada pemeriksaan suara para aktor di dalam rekaman tersebut. Kedua demi kepentingan negara, maksudnya mengetahui dan mengevaluasi keamanan para petinggi negara. Jangan sampai terulang menjadi sangat mudah disadap.
“Audio ini masuk dalam konten multimedia, jadi memang perlu dilakukan forensik digital, dalam hal ini forensik audio. Tujuannya memastikan kesesuaian antara konten yang tersebar atau konten suspect dengan konten aslinya, dalam hal ini diperlukan beberapa puluh sampel kata dari terduga aktor dalam rekaman,” jelasnya.
Ada empat proses yang dilakukan, pertama adalah pengumpulan digital evidence dan forensik audio pada rekaman suara suspect. Kedua dilakukan pengujian rekaman suara suspect dengan rekaman suara pembanding. Ketiga menganalisa berdasarkan voice recognation. Keempat adalah melakukan pelaporan total dari seluruh analisa yang ada.
“Sadap menyadap di era digital semakin mudah. Kasus ini sebaiknya menjadi pelajaran setiap petinggi negara agar memagari dirinya dengan keamanan ekstra agar tidak mudah menjadi target penyadapan, siapapun pelakunya,” terang Pratama.***