BERANTAS MAFIA TAMBANG

  • Whatsapp

Oleh : DR Suparman

INDONESIA negara kaya raya. Indonesia duduk di atassinggasana kekayaan mineral yang tak tertandingi. Sektor pertambangan sebagai tulang punggung penerimaan negara.

Berdasarkan data terbaru, setidaknya Sektor Pertambanganmenyumbang sekitar 15 persen dari total pendapatan nasional. Sudah menjadi rahasia umum, tambang batubara yang dimiliki Indonesia sebagai penyumbang energi menggerakan dunia.
Kita juga memiliki mineral emas berkilau dan timah yang berdepositbesar. Tak hanya itu, termasuk nikel yang vital bagi bateraikendaraan listrik. Namun semua itu menjadi ironi, gemerlapnya kekayaan ini, menyimpan titik kelam: adanya mafia tambang. 

Mafia tambang beroperasi secara sembunyi atau bahkan terang-terang menggeruk kekayaan negara. Dalam pidato politik di Sidang Tahunan MPR RI (15/8), Presiden Prabowo menyebutkan adanya temuan: terdapat sebanyak 1.063 tambang ilegal yang beroperasi di Indonesia.

Dari aktivitas itu, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp300 triliun. Kerugiannegara yang besar mengalir ke segelitir perampok kekayaannegara.

Kita semua harus sadar, mafia tambang adalah parasit hidupyang terus menggerogoti integritas tata kelola sumber dayaalam. Mereka mengubah anugerah geologi menjadi kutukansumber daya yang merusak lingkungan.
Tak hanya berhenti disitu, mereka turut serta memiskinkan negara dan rakyat, dan mencoreng wajah hukum. Wajah hukum bopeng ketikabercermin, ketika mengurus tambang.

Melihat wajah tata Kelola tambang di tanah air, kita dipertontonkan kasus demi kasus operasi pertambangan illegal (illegal mining). Pengelolaan tambang yang bar-bara tersebut, baik yang dilakukan dengacan bersembunyi di balik izin resmi,maupun yang terang-terangan menjarah.  
Kerakusan terhadapkekayaan ala mini, seakan tak bisa dihentikan. Para mafia tambang itu seperti kebal hukum. Kesimpulan dari semuatindakan itu selalu mengarah pada satu jawaban: kejahatan para mafia ini tersistematis, terorganisir, dan masif. 

Mereka dibekingatau ikut melibatkan oknum-oknum yang berkuasa. Ini bukansekadar pelanggaran administratif semata. Sebuah jaringankriminal terstruktur yang secara terstruktur, masif dan sistematis. 

Jaringan ini sudah melemahkan sistem pengawasan, perizinan, dan penegakan hukum demi keuntungan pribadi. Mafia tambang ini mencuri hak negara dan rakyat, dengan caramerampas masa depan generasi mendatang.

Kekayaan Membawa Petaka

Petaka yang dihadapi ini memiliki akar teori dan studi empirisyang kuat. Petaka sumber daya ala mini sudah lama dipelajarisecara global. Sebut saja riset bertema The Resource Curse atauKutukan Sumber Daya Alam. 

Peneliti terkemuka dalam bidangini, Jeffrey Sachs, Profesor dari Columbia University, telah lama menyoroti paradoks bahwa negara-negara yang kaya sumberdaya alam (SDA) non-terbarukan. Negara-negara yang kaya sumber mineral, seperti minyak, gas, dan mineral, cenderungmemiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Institusi dan kelembagaan yang lebih lemah. 

Bahkan, dikatakan negara itutingkat konflik internal yang lebih tinggi dibandingkan negara yang miskin SDA. Mengapa kekayaan sumber daya ala mini justru membawa petaka bagi kita?

kita semua ketahui, dimana SDA yang mudah diuangkan,sehingga menciptakan insentif besar untuk korupsi dan praktikrent-seeking. Para elite politik dan aparat birokrasi, alih-alihberfokus pada pembangunan institusi yang kuat dan diversifikasiekonomi, justru tergiur untuk menguasai jalur perizinan dan rantai pasok. 

Bahkan, Mereka aktif terlibat dalampersengkokolan itu. Di sinilah mafia tambang menemukan ruangbermain yang menjanjikan dan mengiurkan. Tak ayal, jurussuap, gaya intimidasi, dan patron koneksi politik, untukmemastikan modus operandi berjalan tanpa hambatan, mengabaikan segala aspek keberlanjutan dan keselamatanlingkungan. 

Relasi yang kuat antara mafia tambang, para elite politik dan aparat birokrasi negara menjadi kunci penting.

Disis lain, kondisi ini diperparah oleh dinamika ekonomi yang disebut Dutch Disease (Penyakit Belanda). Dalam padanganteori ini, bagaimana lonjakan pendapatan besar dari eksporkomoditas (misalnya, booming nikel hari ini) dapatmenyebabkan apresiasi mata uang domestik—atau setidaknyamenciptakan ketergantungan fiskal yang berlebihan.

Hal inilantas membuat sektor non-komoditas, seperti manufaktur, pertanian, dan pariwisata, menjadi kurang kompetitif di pasar global. Ketika harga komoditas turun, negara tersebut tiba-tibamenghadapi kemiskinan dan deindustrialisasi, terperangkapdalam jebakan siklus harga komoditas.

Indonesia, dengan ekspormineral yang dominan, sangat rentan terhadap efek samping dari”Penyakit Belanda” ini jika tidak segera didiversifikasi. Mitigasinya harus disiapkan sejak sekarang, jika tidak maka kitaakan sangat terlambat.

Tata Kelola Tambang

Untuk memutus rantai kutukan ini, kita harus melihat dan belajar, bagaimana negara-negara yang sukses mengelolakekayaan mineral mereka, seperti Norwegia dengan minyaknyaatau Chili dengan tembaganya. Mereka berpegangan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan diversifikasi dana abadi(sovereign wealth fund).

Seorang Ahli Tambang Dunia terkemuka di bidang tata kelolasumber daya, John F. Shorthouse (seorang geolog yang banyakmeneliti isu sustainable mining governance), pernahmenekankan bahwa keberhasilan operasi pertambangan tidakhanya diukur dari tonase yang diekstrak, tetapi dari “jejakberkelanjutan” yang ditinggalkan. Shorthouse dan rekan-rekannya selalu menggarisbawahi pentingnya ‘full cost accounting’—di mana biaya lingkungan dan sosial (misalnya, rehabilitasi lahan, biaya kesehatan masyarakat, dan kompensasiyang adil) harus sepenuhnya diinternalisasi dan dibayarkan oleh perusahaan, bukan oleh negara atau masyarakat.

Mafia tambangsecara fundamental melanggar prinsip ini dengan melakukanpenambangan tanpa izin, tanpa reklamasi, dan tanpa pajak yang benar, membiarkan negara menanggung kerugian lingkunganyang tak terhitung.

Tentu untuk memberantas mafia tambang memerlukan lebih darisekadar penindakan di lapangan. Tindaka ini menuntut reformasi struktural yang radikal dan keberanian politik dari puncakkekuasaan. Reformasi struktural ini dapat dilakukan, tentu butuhkomitmen kuat dan integritas yang tinggi dari PresidenPrabowo. 

Maka langkah pertama, adalah membangun digitalisasi total dan integrasi data lintas sektor. Pemerintah harus membangun satuplatform tunggal yang mengintegrasikan data perizinan(Kementerian ESDM), data penerimaan negara (Kementerian Keuangan/Pajak), data pengawasan kapal(TNI/Polri/Kemenhub), dan data lingkungan (Kementerian LHK). Dengan sistem ini, anomali—seperti volume batubarayang dimuat kapal jauh lebih besar dari izin produksi yang dilaporkan, atau kapal yang memuat komoditas dari lokasi tanpaizin resmi—akan terdeteksi secara otomatis, menghilangkanruang bagi permainan birokrasi dan suap.

Langkah kedua, adalah melakukan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Aparat harus fokus pada pemutusan rantaipasok dan pemiskinkan aktor intelektual di balik jaringan mafia. 

Penegakan hukum harus menyasar tidak hanya operator lapangan, tetapi juga para pemodal, penerima barang ilegal, dan oknum pelindung dari institusi negara yang terlibat. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) harusditerapkan secara maksimal untuk menyita aset-aset hasilkejahatan tambang, mengirimkan pesan yang jelas bahwakekayaan haram tidak akan pernah bisa dinikmati.

Langkah ketiga, adalah memberikan penguatan peranmasyarakat sipil dan media. Kebebasan untuk memantau, melaporkan, dan mengkritik kebijakan pertambangan adalahvaksin terbaik melawan korupsi. Transparansi data perizinan dan kontrak, seperti yang dipromosikan oleh inisiatif EITI (Extractive Industries Transparency Initiative), harusdiimplementasikan secara ketat di semua tingkatan.

Kutukan sumber daya hanya akan menjadi kenyataan jika kitamembiarkan tata kelola sumber daya kita didikte oleh segelintirjaringan kriminal yang haus kekayaan. Memerangi mafia tambang adalah perjuangan untuk menegakkan kedaulatannegara atas kekayaan alamnya, sebuah perjuangan untukkeadilan ekologis, dan sebuah investasi krusial bagi masa depanekonomi bangsa.

Saat ini adalah momen krusial. Kita harus memilih: Apakah kitaakan membiarkan mafia tambang terus menyandera kekayaangeologis kita, memiskinkan rakyat di tengah kekayaan yang melimpah? Atau kita akan berdiri tegak, memutus rantaikutukan, dan memastikan bahwa setiap bijih mineral yang diekstrak benar-benar kembali kepada kepentingan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. 

Berantas mafia tambang adalah harga mati, untuk memastikan kekayaan alamIndonesia menjadi berkat, bukan petaka. If all this done too late, then this country will fall under the curse of natural resources—jika ini semua terlambat dilakukan, maka negara ini akan masukdalam kutukan sumber daya alam.

*) Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

Berita terkait