Oleh: Nur Indah Ulfanny (Pemerhati Generasi)
FENOMENA Terjerumus generasi muda dalam judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) bukan lagi isu kecil yang muncul sesekali di permukaan. Ia telah berubah menjadi persoalan sosial besar yang melibatkan teknologi, ekonomi, dan struktur sosial yang lebih luas. Banyak orang ingin menyalahkan “kecerobohan anak muda zaman sekarang”, tetapi narasi semacam itu hanya menyentuh permukaan, bahkan cenderung menyederhanakan masalah yang jauh lebihkompleks.
Yang terjadi sebenarnya adalah generasi muda sedang dikepung oleh algoritma digital yang bekerja mengikuti logika kapitalisme, yakni logika yang menempatkan keuntungan di atas keselamatan manusia. Dalam logika ini, pemuda bukanlagi subjek yang dikembangkan kemampuan dan potensinya, melainkan pasar yang dieksploitasi untuk memaksimalkan keuntungan.
Generasi Muda yang Menjadi Sasaran Empuk
Data menunjukkan bahwa pemuda dengan ekonomi terbatas adalah target paling empuk bagi iklan judol dan pinjol. Dengan penghasilan minim, pekerjaan yang tidak stabil, dan tekanan sosial yang besar, mereka menjadi kelompok yang paling mudah dipengaruhi oleh iming-iming “solusi instan”.
Belum lagi fakta bahwa 58 persen Gen Z menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup dan hiburan, bukan kebutuhan darurat atau kesehatan. Ini bukan angka kecil; iniadalah indikator betapa masif dan dalamnya penetrasi pinjolke dalam kehidupan generasi muda.
Tambahan lagi, data lembaga keuangan menunjukkanlonjakan jumlah rekening pinjaman yang dimiliki generasi usia muda. Artinya, generasi ini bukan hanya banyak meminjam, tetapi frekuensi dan nominalnya juga meningkat.
Sebagian dari mereka meminjam bukan sekali, melainkan berkali-kali, dan siklus utang itu terus berputar, menyedot ketenangan mereka sedikit demi sedikit.
Di sisi lain, judi online merajalela sebagai industri gelap yang nyaris tak mungkin dibendung.
Platform digital memfasilitasi penyebaran, influencer mempromosikannya, dan algoritma memastikannya selalu muncul kembali dalam layar generasimuda.
Semuanya bekerja sistematis dan generasi muda ada di tengah pusaran itu.
Masalah Sistemik, Bukan Individual
Terjeratnya generasi muda pada pinjol dan judol tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi mereka. Upah rendah, peluang kerja tidak pasti, harga kebutuhan pokok naik, ongkoshidup meningkat, sementara standar gaya hidup yang dipromosikan media terus melambung.
Kesenjangan semakinmenganga, dan kesempatan untuk mobilitas sosial makin sempit. Sistem kapitalisme yang berjalan saat ini memang memberiruang bagi segelintir orang untuk mengakumulasi kekayaan dalam jumlah besar, tetapi dalam waktu bersamaanmembiarkan banyak orang, termasuk anak muda, berada dalam kondisi rapuh.
Kerapuhan ekonomi inilah yang membuat banyak anak muda menganggap judol dan pinjol sebagai jalan pintas.
Pinjol menawarkan “kecepatan”, “kemudahan”, dan “tanparibet”. Judol menjanjikan “cuan cepat”. Dua-duanya sama-sama menjual mimpi di atas kesulitan hidup yaitu mimpi yang ditawarkan kepada kelompok yang paling rentan.
Di sisi lain, negara tampak tidak cukup mampu melindungi generasi muda dari paparan iklan maupun penetrasi sistemdigital yang merusak. Sistem pendidikan berjalan dengan paradigma sekuler-materialis yang lebih menekankan capaian materi, nilai ujian, atau prestasi akademik, tetapi minim penanaman nilai. Akibatnya, generasi muda canggung menghadapi godaan spekulatif dan konsumtif.
Mereka diajari cara menghasilkan uang, tetapi tidak diajaribatasan apa yang halal–haram, benar–salah, atau manfaat–mudharat. Mereka diajari mengejar status, bukankebijaksanaan. Lingkungan sosial dan budaya digital pun memperparah keadaan.
Semuanya berlomba menampilkan gaya hidup mewah, barang baru, tempat nongkrong hits, dan segala hal yang tampak glamor. Generasi muda pun tenggelam dalam kompetisi sosial yang tidak sehat. Kompetisi yang membuat mereka merasa harus mengikuti standar itu meski tidak mampu.
Ruang digital yang sehari-hari diakses generasi muda dibangun bukan dengan visi melindungi penggunanya, tetapi dengan standar bisnis yang mengutamakan klik, tayangan, retensi, dan keuntungan. Algoritma bekerja bukanberdasarkan keselamatan, melainkan kebiasaan.
Jika seseorang pernah klik satu konten terkait uang cepat, maka platform akan menampilkan lebih banyak iklan serupa. Jika seseorang sedang dalam tekanan finansial dan mencaricara keluar, algoritma akan memunculkan iklan pinjol.
Jika seseorang menonton satu video influencer yang memamerkan gaya hidup glamor, maka platform akan membanjirinya dengan konten serupa.
Inilah mengapa generasi muda seperti tidak punya ruangbernapas.
Setiap klik, setiap scroll, setiap interaksi digital menjadi pintu masuk bagi jebakan baru. Mereka tidak diberi pilihan yang sehat, yang diberikan adalah apa yang paling menguntungkan platform.
Ruang digital yang tunduk pada kapitalisme berubah menjadiarena eksploitasi. Judol dan pinjol hanyalah dua dari banyakproduk yang disodorkan kepada mereka tanpa memedulikan dampaknya.
Perlu Paradigma yang Berbeda
Karena masalahnya sistemik, maka solusinya pun tidak bisa bersifat tambal sulam. Tidak cukup hanya literasi digital, tidak cukup hanya imbauan moral, tidak cukup hanya menutup situs ilegal. Semua itu hanya meredakan gejala, bukan menghapusakar.
Berbeda jika menerapkan sistem ekoomi Islam, di manajaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap orang bukan sekadar janji, tetapi kewajiban negara. Sumber daya alam tidak boleh dikuasai segelintir individu atau korporasi, melainkan dikelola negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Distribusi kekayaan dilakukan agar tidak hanya berputar di kalangan kaya.
Ketika kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, pangan, papan, pendidikan, Kesehatan, maka tekanan ekonomi yang menjerumuskan anak muda ke pinjol dan judol akan berkurang drastis.
Mereka tidak perlu mencari “pelarian ekonomi” atau “kesempatan instan” untuk bertahan hidup. Di sisi lain, pendidikan Islam tidak hanya menanamkan ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian yang menyandarkan segala perbuatannya pada halal dan haram.
Dalam paradigma ini, perbuatan buruk bukan hanya dipandang merugikan secara materi, tetapi diletakkan pada kerangka nilai yang jelas.
Dengan kepribadian yang terbentuk kuat, generasi muda tidakmudah tergiur oleh gaya hidup konsumtif, konten kosong, atau solusi instan yang penuh risiko. Mereka belajar mengukur tindakan bukan dari keuntungannya, tetapi dari kebenaran dan keberkahannya.
Dalam paradigma Islam, teknologi digunakan untuk menjagamartabat manusia, bukan mengeksploitasinya. Infrastruktur digital dibangun dan dikontrol untuk melindungi generasi dari konten merusak, normalisasi maksiat, kriminalitas digital, jebakan finansial spekulatif, dan eksploitasi algoritmik.
Dengan kontrol berbasis nilai, ruang digital tidak lagi menjadi tempat yang penuh jebakan, tetapi menjadi lingkungan yang aman untuk tumbuh dan berkembang. Terakhir, generasi muslim perlu meneguhkan identitasnyasebagai pembangun peradaban.
Identitas ini bukan hanya soalkeyakinan pribadi, tetapi kesadaran bahwa mereka punya peran untuk membawa masyarakat menuju kebaikan. Pembinaan Islam dan aktivitas dakwah menjadi cara untukmemperkuat keteguhan ini. Generasi yang kuat identitasnya tidak mudah digiring oleh algoritma. Mereka tidak melihat diri sebagai pasar, tetapisebagai insan yang punya tujuan hidup lebih besar.
Penutup
Judol dan pinjol hanyalah dua dari banyak persoalan yang menimpa generasi muda hari ini. Namun dari dua masalah ini saja kita dapat melihat dengan jelas bahwa mereka hidup dalam sistem yang mengepung, menekan, dan memanfaatkan mereka.
Mengatasi ini tidak bisa hanya dengan menyalahkan individu. Kita perlu melihat akar masalah, yakni sistem yang membiarkan anak muda menjadi target algoritma, mangsaiklan, dan pasar bagi produk berbahaya.
Sudah saatnya mencari solusi yang menyentuh akar, memperbaiki sistem, membangun pendidikan yang menanamkan nilai, dan meletakkan teknologi pada tempatyang benar. ***








