Mombine Pimpin DPRD Sulteng

  • Whatsapp
Reportase: Ikhsan Madjido

PIMPINAN Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
Sulawesi Tengah untuk periode lima tahun mendatang dipastikan berasal dari
Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Ini menyusul kemenangan NasDem pada pemilu legislatif (Pileg) 2019 pada
April lalu di Sulteng. Partai NasDem meraih tujuh kursi.
“Kami optimis meraih Ketua DPRD,” kata Ketua DPW NasDem Sulteng,
Aristan, di Palu, Senin (13/5/2019).
Dengan perolehan tersebut, NasDem merebut dominasi
Golkar yang meskipun sama-sama meraih tujuh kursi, namun NasDem meraih suara
terbanyak. 
Partai suara terbanyak berhak mendapatkan ketua dewan.
Salah satu dari tujuh politisi NasDem yang akan duduk
sebagai wakil rakyat di DPRD Sulteng adalah Nilam Sari Lawira dari daerah
pemilihan (dapil) 6 Donggala-Sigi.
Mungkinkah di era reformasi ini ketua dewan akan
dijabat wakil dari perempuan (mombine)?
Pengamat politik Universitas Tadulako, Irwan Waris
berharap pimpinan dewan dipegang wakil dari perempuan.
“Bagus sekali. Perempuan harus diberi kesempatan
menjadi Ketua DPRD. Tidak ada masalah. Itu berarti perempuan telah menunjukkan
kemampuannya bahwa dia mampu. Makanya perlu diberi kesempatan,” tandasnya.
Namun, Irwan Waris menambahkan sebetulnya laki dan
perempuan dalam kehidupan apapun, antara lain di bidang politik, tidak ada
perbedaan. Sama saja. Karenanya jika ada perempuan yang mampu, mestinya diberi
kesempatan.

“Dalam demokrasi tidak ada perbedaan laki dan perempuan. Hal yang
membedakannya adalah kemampuannya atau kompetensinya. Demokrasi mensyaratkan
kemampuan atau kompetensi dalam rangka mengimplementasikan kepemimpinan yang
pro rakyat,” tukasnya.
Meski mengakui Ketua Dewan dari NasDem, namun  Aristan menyerahkannya pada mekanisme yang
ada.

“Ya nanti dilihat saja, kan ada mekanismenya itu,” ucapnya. Menurut Aristan, saat ini pihaknya sedang fokus mengawal pleno KPU
tingkat nasional.

Hal ini terkait pleno KPU Sulteng yang hanya memutuskan satu kursi
untuk NasDem di dapil Sulteng. Mestinya NasDem meraih dua kursi.

Pihaknya juga telah mempersiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, jika
upaya pleno KPU nasional tidak berhasil.

“Kami akan mengawal perhitungan suara tingkat nasional. Kalau ini tetap
tidak digubris, kami telah menyiapkan gugatan ke MK,” tandas Aristan.

Penyelesaian PHPU sendiri diatur dalam Undang-undang
(UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan sejumlah peraturan yang dikeluarkan
oleh MK.

Pasal 474 UU Pemilu menjabarkan aturan pengajuan
PHPU pileg dalam empat ayat. Ayat (1), dalam hal terjadi perselisihan penetapan
perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional,
Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan
pembatalan 
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada MK.
Ayat (2), peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD mengajukan permohonan kepada MK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama tiga kali 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional oleh KPU.

Ayat (3), dalam hal pengajuan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki
dan melengkapi permohonan paling lama tiga kali 24 jam sejak diterimanya
permohonan oleh MK.

Ayat (4), KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan MK.
**

Berita terkait