PEMILIHAN Langsung Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2020 di Sulawesi Tengah adalah fase perubahan peta politik lokal. Penanda perubahan itu dibuktikan pada hasil 2019 lalu. Figurasi kelembagaan politik dan personalitasnya berubah. Perubahan politik kini makin nyata menjadi fenomena menjelang pergantian lima tahunan kepemimpinan Sulawesi Tengah.
Secara teori, perubahan politik itu sendiri, bila merujuk kepada pemikiran Lucian W. Pye (1966), merupakan salah satu subtansi penting dari pembangunan politik dalam pengertian prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi, ciri khas masyarakat industri, dan moderenisasi politik.
Dari perspektif sirkulasi aktor, perubahan politik di Indonesia memang telah dan sedang berlangsung. Misalnya, sebagaimana diketahui, even-even politik saat ini tidak lagi di dominasi oleh aktor dari lapisan masyarakat tertentu, melainkan seluruh aktor dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk lapisan pengusaha, dapat ikut serta terlibat di dalamnya. Hal demikian tentunya tidak dapat ditemukan di era sebelumnya.
Era rezim Soeharto adalah contoh paling relevan. Era rezim tersebut, sirkulasi jabatan politik lebih banyak digenggam secara terbatas oleh golongan militer, teknokrat sipil, dan birokrat tinggi. Pengusaha di era itu diposisikan dalam peran-peran terbatas, khususnya di bidang bisnis semata. Pengusaha dikondisikan dan dipaksa untuk hanya sibuk memburu hak monopoli dagang, lisensi, subsidi dan proteksi melalui relasi pribadi dengan para pejabat teras dalam sistem patronase politik yang ada (pengusaha dan politik; republika.co.id).
Kembali ke Sulawesi Tengah, Pilgub 2020 memunculkan kekuatan baru yaitu kekuatan Partai Nasdem, yang tentu dengan dirijen orkestranya oleh patronase politik Akhmad H Ali. Ia sukses memanagemen kendaraan politiknya hingga seluruh daerah pemilihan di Sulawesi Tengah mengantar anggota parlemennya. Nasdem berhasil mencuri beberapa kursi di Dapil Pileg 2019. Bukti itu ia tunjukkan dengan kepemimpinan DPRD kabupaten dan provinsi direbutnya.
Nasdem, sebagai parpol pemula di jagad pentas politik nasional, di Sulteng mampu menyeruduk dominasi Partai Golkar yang cukup lama. Bahkan Partai Gerindra digesernya. Kita tau, di Golkar dan di Gerindra, tokoh dan petarung politik nasional ada di sana. Pengalaman tidak diragukan. Tapi, 2019 Nasdem membuktikan dirinya menyeruduk keduanya. Bahkan, meninggalkan partai sekoalisinya PDI-P.
PEMILIHAN GUBERNUR
Sebagai parpol pemenang, Nasdem dengan raupan tujuh kursi masih butuh ‘koalisi’ untuk menggenapi sembilan kursi. Secepat kilat, Nasdem pun mendekler figur Rusdi Mastura – Makmun Amir sebagai bakal calon di Pilgub 2020. Mengapa belum deklarasi? ‘’Kita patuh pada fatsun politik dengan indikator survei, komunikasi politik ke depan, dan dinamika lainnya. Kita sudah memiliki bakal calon,’’ ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Ahmad H Ali satu kesempatan dengan saya. Cara Nasdem itu fakta bahwa, perubahan politik di Sulteng diyakini berubah dan mesti harus didirijen dengan gaya orchestranya.
Sebagian akademisi dan cendekia ilmu politik meyakini bahwa rezim Pileg dan Pilpres tak simentris dengan rezim Pilkada. Bisa jadi Nasdem pemenang Pileg di Sulteng tapi tidak selamanya akan menjadi pemenang di Pilgub, demikian bila dinarasikan. Di Pileg dan Pilpres 2019 arahan parpol jelas dan terukur hingga ke bawah. Kader memungkinkan bergerak karena berkepentingan meraih kursi sebagai Caleg. Di Pilkada, magnet utama pertarungan adalah produk ‘figur’ yang akan dipertaruhkan dalam kontestasi.
Selain Nasdem, masih ada kekuatan politik kedua di tanah Tadulako yang tidak dapat sekelebas begitu saja tak diperhitungkan. Ada Gerindra dan Partai Golkar. Keduanya sangat melek politik dan lincah memainkan bandul-bandul politis hingga memancing keluar lawan. Figur Longki Djanggola patron Gerindra dan ada figur Arus Abd Karim, Muhidin M Said serta Yus Mangun dan lainnya di Partai Golkar. Mereka mereka ini justeru lama malang melintang di panggung politik Sulteng. Pilgub Sulteng 2020 makin seru.
Selain Rusdi Mastura (balongub Nasdem) kini nama nama yang juga patut diperhitungkan adalah Anwar Hafid (Ketua Demokrat dan anggota DPR RI), Nurmawati Dewi Bantilan (politisi perempuan kader Golkar) dan Hidayat Lamakarate dan Sigit Purnomo Said. Kelima nama ini sudah mulai mencitrakan diri baik di media mainstream maupun media sosial. Gumpalan gumpalan simpati sejak Oktober 2019 mulai terasa dan menjemput akhir 2019 gumpalan itu sudah mulai nampak terlihat nyata.
Bagaimana potensi parpol pengusung Anwar Hafid (AH), Nurmawat Dewi Bantilan (NDB) dan Hidayat Lamakarate (HL) dan SPS. Masih sangat berpeluang besar. Nasdem mungkin hanya dapat menarik PDI-P untuk koalisi. Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PKB, PAN, Hanura serta parpol lainnya sangat memungkinkan untuk mengusung. Bahkan analisa saya calon gubernur Sulteng di Pilkada 2020 tak lebih dari tiga Paslon.
Kita menunggu racikan apik, tokoh Gerindra Longki Djanggola memilih Paslonnya untuk duel di Pilgub. Kita juga menunggu chief politik handal Golkar seperti Arus Abd Karim, Muhidin M Said dan Yus Mangun dkk menyajikan gebrakan baru Paslonnya di Pilgub 2020 nanti. Nama-nama itu pasti memiliki pengaruh dalam pertarungan 2020 dengan peta politik yang sudah berubah. Juga AH, dirijen Demokrat dan sekaligus yang akan maju dikenal dengan perfect defense, humble, dan relegiusnya. Benar-benar peta politik Sulteng 2020 ini adalah pelajaran baik untuk generasi mendatang. Sangat disayangkan kalau tidak menjadi sebuah kajian studi dan analisa perpolitikan di Sulawesi Tengah.
Nantikan tulisan–tulisan saya mendatang yamg masih berkaitan dengan analisis jurnalistik Pilgub 2020 dan perubahan politik, serta dinamika dan potensi pemenang Pilgub 23 September 2020 akan datang. ***
Oleh: Cak Ando Wibisono