Suka tidak suka, demokrasi akan ideal bila hadir kekuatan pengimbang, kekuatan tengah atau netral. Atau, di luar pelembagaan ada kelompok-kelompok independen. Makanya dalam demokrasi ada pers, NGO, dan kelompok non parpol baik perseorangan maupun kelompok netralis.
Horison rezim Pilkada sangat berbeda dengan rezim Pileg. Rezim Pilkada benar benar kontestasi leadership. Figuritas seseorang untuk tanding berlaga. Kekuatan parpol hanya sebagai kekuatan kedua. Bahkan satu dua parpol yang sukses membangun basis kekuatan strukturalnya di Pilkada.
Sejak awal Pilkada langsung 2006 secara pelembagaan dan kelembagaan Panitia pengawas pemilihan kepala daerah terus bermetamorfosa sesuai perkembangan peradaban demokrasi di Indonesia. Dari lembaga ad hoc yang hanya dipilih dan diseleksi DPRD kini menjadi badan yang uji kualifikasinya dan kompetensinya sangat ketat. Bahkan pengawas pemilihan kepala daerah telah menjadi badan otonom yaitu Bawaslu. Berstruktur hanya sampai di kabupaten/kota. Dibiayai APBN dan dana hibah APBD bila ada hajatan Pilkada di wilayahnya.
Agar citra dan peringkat demokratisasi di negeri ini baik dan benar, sejumlah ketentuan dan regulasi antar lembaga pemerintah telah lahir untuk menjaga marwah Pilkada gubernur, wali kota/bupati. Salah satunya ‘pagar api’ – istilah di pers yaitu; antara kepentingan redaksi dengan kepentingan perusahaan pers harus bisa dipisahkan. Pagar Api tidak bisa dilanggar oleh seorang aparatur sipil negara (ASN). Jelas, melanggar ada sanksi baik lewat internal UU ASN, Komisi ASN dan UU Pilkada serta peraturan Bawaslu RI.
Pilkada 2020 di Sulawesi Tengah diikuti sembilan daerah baik Pilgub dan Pilwakot serta Pilbup. ASN menjadi salah satu sorotan karena dapat digunakan mesin birokrasinya untuk kepentingan politik calon. Terlebih di wilayah wilayah Pilkada yang petahana atau pejabat politiknya kembali akan mengikuti kontestasi.
Kemarin, dua pejabat eselon II di jajaran Pemprov Sulteng menjadi terperiksa oleh Bawaslu Sulteng. Tak tanggung tanggung keduanya marak disebut namanya oleh Ketua Bawaslu saudara Ruslan yaitu Bartholumeus Tandigala (Kepala BPBD) dan Hasanuddin Atjo (Kepala Bappeda).
Posisi strategis keduanya menjadi menarik media massa. Bartho yang mulai akrab disebut BLT dan Hasanuddin Atjo disebut HtJ itu masih sebatas bakal calon gubernur dan wakil gubernur di Pilgub 23 September 2020 mendatang.
Kita tidak menyoal kewenangan Bawaslu karena pasti lembaga itu menyiapkan sejumlah regulasi dan argumentasi hukum memanggil seorang ASN yang terduga terindikasi menyalahi aturan. Kita tidak berpolemik soal ini.
Menarik bagi saya sebagai mantan dan keluarga besar alumni pengawas Pilkada menyatakan bahwa pemeriksaan tersebut mengandung makna antara lain;
1. Message
Bawaslu Sulteng mengirim pesan melalui penyelidikan kedua ASN itu bahwa internal jajarannya di daerah tak perlu ragu menegakan aturan pada siapapun. Pesan eksternal nampak jelas Ketua Ruslan berjanji akan menindaklanjuti proses proses penyelidikan menjadi penyidikan ke tingkat lebih tinggi bila rapat pleno komisioner dilakukan sesuai keputusannya. Ada pesan di sana. Ini serius tidak main – main kepada ASN.
2. Bluffing
Menjadikan kedua pejabat eselon II sebagai terperiksa dugaan pelanggaran di Pilgub 2020 baik karena menggunakan baliho di areal publik dan menghadiri kegiatan dengan menyampaikan Visi dan Misi di Parpol menjadi sebuah debatabel di tengah masyarakat. Benarkah seserius itu Bawaslu Sulteng? Apa iya hanya keduanya? Bagaimana dengan di Pilwakot? Di Pilbup kabupaten yang menghelar hajatan sama?
Publik mencurigai ini hanya bluffing Bawaslu saja? Benarkah? Siapa yang digertak Bawaslu dengan ‘contoh’ kecepatan menjadikan kedua kepala OPD Pemprov menjadi terperiksa?
Lembaga pengawas itu ingin ‘mengertak’ siapapun bahwa jangan main – main dengan aturan, terlebih ASN. Anda digaji rakyat, melayani rakyat, memihaklah pada rakyat jangan berpolitik. Kalau ingin berpolitik segeralah mengundurkan diri dan seterusnya demikian kira kira.
3. By Order
Kita semua mungkin tidak akan menerima indikasi terakhir ini. Bahwasanya, Bawaslu memeriksa kedua pejabat OPD Pemprov dalam tahapan Pilgub yang masih bakal calon sebagai tindakan bluffing by order. Yaitu karena pesanan kekuatan politik tertentu untuk menghabisi kelompok atau lawan politik lainnya dengan kewenangan yang dimiliki. Badan yang diharap sebagai penjaga marwah kontestasi politik ini dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Dugaan dugaan publik ini harus dimaknai sebagai ‘peringatan dini’ kritik agar kualitasi pengawasan Pilgub, Pilwakot dan Pilbup lebih baik di event politik Sulawesi Tengah 2020.
Independensi Bawaslu selalu menjadi supporting bagi perjalanan peradaban sosial politik dan demokrasi di negeri ini. Bawaslu juga harus senantiasa adil, beradab dan proporsional dalam mengemban misi sucinya. **
Oleh: Cak Andono wibisono – Eks Ketua Panwaslu Pilgub Sulteng 2006