Tugas Kepala Daerah Hasil Pilkada 2020, Penuh Tantangan dan Semakin Berat, Perlu Tatakelola Baru

  • Whatsapp
Hasanuddin Atjo/ft: Ist
banner 728x90

Oleh: Hasanuddin Atjo

Meskipun peserta kontestasi Pilkada di tahun 2020 baru akan ditetapkan di September 2020, namun sejumlah referensi telah memberi sinyal bahwa Kepala Daerah terpilih,  hasil Pilkada tanggal 9 Desember  2020 akan menghadapi sejumlah tantangan dan  semakin  berat, sehingga  diperlukan penerapan tatakelola baru, New management.  Paling tidak ada lima persoalan atau tantangan mendasar untuk lima tahun ke depan yang menghadang kepala daerah terpilih.

Pertama, IMF Internasional Moneter Fund  memprediksi bahwa akibat Pandemic Covid-19 , pertumbuhan ekonomi global  di tahun 2020 akan  tumbuh minus (-4,9 persen), telah  berimpilikasi terhadap krisis bahkan mengarah ke depresi ekonomi dan semua berharap  agar tidak ada yang sampai  colaps. Beberapa kalangan berpendapat bahwa puncak dampak ekonomi pandemic Covid-19 akan sangat dirasakan  di tahun 2021, itupun jIkalau berhasil menemukan vaksin Covid-19 untuk mengendalikan laju penularannya .

Kedua, pada satu sisi  Negeri ini  mengalami kesulitan keuangan akibat dari pandemic Covid-19, dan pada sisi lain membutuhkan  dana ekstraordinary untuk keluar dari tekanan penularan Covid-19 yang  masih tinggi, serta dana stimulus ekonomi untuk sejumlah sektor yang terpuruk terutama UMKM dan sektor Jasa. Karena itu, Pemerintah melalui UU nomor 2 tahun 2020, mulai tahun 2021 menghentikan sementara waktu, bantuan dana desa yang  nilainya antara 1 – 1,5 milyar rupiah/desa/tahun, dan telah berlangsung sejak tahun 2015.

Kadin pusat memprediksi bahwa Indonesia pada tahun 2020 akan kehilangan pendapatan atau PDB, Produk Dimestik Bruto antara 3000 hingga 4000 triliun rupiah, serta  PHK, Pemutusan Hubungan Kerja sekitar 13 juta orang pada sektor formal maupun  non formal, akibat tutupnya sejumlah sektor usaha dari skala  UMKM  hingga besar.

Ketiga, kewewenangan pengelolaan mineral dan batubara, tadinya   berada di daerah (Provinsi dan kabupaten), tetapi melalui UU No 3 tahun 2020, kewenangan itu ditarik ke Pusat. Ditengarai ada beberapa pertimbangan  yang menyebabkan kewenangan itu ditarik antara lain tumpang tindih perizinan, birokrasi perizinan yang panjang,  serta telah menjadi daya tarik atau magnit bagi calon investor untuk menjadi sponsor bagi figur tertentu dalam  penyelenggaraan Pilkada.

Keempat, penyusunan rencana dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan pembangunan 2021  diwajibkan berbasis digital dan terikat dalam koordinat maupun tataruang , dan sudah dimulakan di tahun 2020.  Sejumlah regulasi berkaitan dengan hal itu antara lain; Perpres nomor 95  tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan berbasis elektronik, Pepres nomor 39 tahun 2019 tentang satu data Indonesia, Permendagri nomor 70 tahun 2019 tentang, SIPD sistem informasi pembangunan daerah, serta Permendagri nomor 90 tahun 2019 tentang kodefikasi dari SIPD.

Kelima, kerusakan hutan dan DAS, pencemaran perairan dan udara akibat pengelolaan yang belum berorientasi keberlanjutan menjadi hal yang semakin terlihat. Dimana-mana dan makin sering terjadi bencana banjir bandang,  pasang laut rob, kekeringan, pencemaran perairan.Ditambah lagi beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Sulawesi Tengah yang rentan dengan bencana gempa bumi, tsunami dan liquafaksi karena menjadi alur cecar tertentu.

Bila melihat tanggung jawab yang harus “dipikul” oleh seorang kepala daerah terpilih atas tantagan yang telah diurai di atas, tentunya akal waras kita berpendapat sebagai pemilik hak usung maupun hak suara bahwa ini bukan pekerjaan  yang mudah.  Diperlukan figur yang tangguh, inovatif dan adaptif agar bisa mengurai permasalahan yang sudah menghadang.

Dapat dibayangkan bagaimana bisa bekerja dengan baik dalam kondisi ekonomi terpuruk, dana yang semakin terbatas, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Ditambah lagi dengan tuntutan penguasaan digitalisasi dalam merancang dan merealisasikan pembangunan. Karena itu kondisi ini menuntut kepala daerah yang terpilih adalah yang berkualitas bukan karena populeritas maupun pencitraan.

Menghadapi sejumlah tantangan yang telah disebutkan, maka suka tidak suka dan mau tidak mau negeri ini membutuhkan sebuah tatakelola baru, new management yang inovatif, adaptif dan update. Bagi kepala daerah yang terpilih karena lebih kepada pertimbangan kualitas bukan karena populeritas ditambah pencitraan, tidak menjadi soal yang serius, karena diyakini bahwa yang bersangkutan akan lebih mampu menyusun maupun merealisasikan tatakelola baru itu.

Bagi daerah yang kebetulan kepala daerah yang terpilih , karena faktor populeritas dan pencitraaan, maka diperlukan sebuah skenario baru agar harapan daerah itu bisa ikut dalam gerbong perubahan dan tidak tertinggal di stasiun mampu direalisasikan. Paling tidak ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan untuk itu.

Pertama, harus dibentuk semacam  “think thank” yang dinilai memiliki reputasi untuk mendampingi dalam menyusun masterplan lima tahun ke depan kemudian mengawalnya, termasuk menyusun desain fiskal tahunan.  Desain fiskal menjadi penting untuk merancang sebuah pendapatan dan membelanjakan berdasarkan masterplan yang telah dibuat. Kedua, bahwa dalam proses rekruitmen “kabinet kerja” dalam hal ini kepala organisasi perangkat daerah,  sudah harus berorientasi kepada  faktor profesionalisme, karena tatakelola baru menuntut penerapan teknologi digitalisasi yang membutuhkan kompetensi dan komitmen. Ketiga tatakelola baru menuntut para kepala daerah paham dan bisa mengoperasikan sistem tatakelola yang berbasis digitalisasi.

Terakhir, artikel ini tentunya lebih kepada edukasi, dan mengingatkan bahwa dunia dan negeri ini telah berada dalam kondisi tertekan dan tidak nyaman. Dibutuhkan sebuah kesadaran dan kemauan bersama agar dunia dan negeri ini dapat keluar dari sejumlah tekanan yang terus mengancam.  Pilkada tahun 2020 menjadi momentum penting untuk tujuan itu. SEMOGA. ***

Berita terkait