Semalam, 16 Desember 2020 dari balik kaca 12 inci, suka cita silaturahmi dibalut ketaatan ketetapan Allah SWT, Calon Wali Kota Palu peraih ‘suara runner up’ Imelda Liliana Muhidin menjamu semua elemen relawan dan relawatinya. Saya hanya menikmati dari layar kaca hp tua sambil sesekali meraba jarum plastik menusuk gatal urat tangan menerima cairan infus vitamin plus dengan anti bodi. Luar biasa…sangat intelek sebagai politisi. ILM telah sukses membangun infrastruktur percakapan politik sosial masa depannya. Sukses selalu, guman saya ke teman yang live VC semalam.
ILM, mulai renyah di lidah akronim politik warga Palu, adalah sosok perempuan putri sulung politisi Golkar Muhidin M Said itu kini namanya diperhitungkan di blantika politik Kota Palu. Hampir empat bulan kami akrab dalam sebuah pergerakan kontestasi Palu di masa pandemi. Ibu tiga anak ini bukan rada pendiam, tapi sosok pendengar yang baik. Jebolan kuliah di negeri Paman Sam tak neko neko ketika ada yang perlu disampaikan. Lugas dan tapi tetap santun.
Ada satu yang menarik dan mungkin luput dari amatan semua orang. Apa itu? ILM sebagai perempuan berdarah Bugis dan Jawa tak menempel ‘satu gram’ logam mulia di badannya. Bahkan hari – hari di kediaman Tolambu Palu Barat, ia bak perempuan Jawa melayani anak, suami dan orang tuanya. Ini yang lupa diberitakan media soal siapa ILM.
Sejak siang 09 Desember 2020 usai pencoblosan dan perhitungan, saya dan Bagio serta Tim Cyber Centre hingga dini hari pukul 02.00 Wita terus bersama Ayah ILM, Muhidin M Said. Saya bukan sekedar dag dig dug melihat grafik real count (bukan quick count) yang dipaparkan di garasi mobil. Tapi jauh dari itu saya ingin mengamati psikologi politisi soal – soal fakta politik yang harus diterima dan dirasakan. Di balik berita ini menarik bagi saya.
Wakil Ketua DPP Partai Golkar itu beberapa kali keluar masuk gelisah ruangan yang hanya dibatasi daun pintu dengan layar in focus real count. Tapi selalu melempar senyum ke kami. Seakan memberi semangat.
Usai solat Isya, saya dan beberapa kader muda Golkar duduk di halaman menemani pimpinan Banggar DPR RI itu. Pokok bahasan tetap soal turun naiknya grafik suara Pilwakot. ‘’Di Politik itu anda harus menyiapkan semua keperluan untuk kontestasi. Setelah menyiapkan, anggap itu hal keluar biasa. Namun, harus dievaluasi agar ke depan bisa lebih baik,’’ ujar MHS mengarahkan tatapan matanya ke saya sambil tersenyum. Berpolitik itu dengan kejujuran bukan dengan akal – akalan. ‘’Tulislah ini agar sama – sama kita belajar berpolitik yang baik. Saya pesan pada Imelda di politik itu biasa jatuh bangun jatuh bangun. Satu jangan berkhianat pasti kamu akan sukses,’’ jelas MHS dengan serius.
Tak lama sekira pukul 23.00 Wita, ILM keluar dan mendekati Ayahnya yang duduk di sekitar kami. ‘’Saya berterima kasih dengan kawan – kawan semangatnya hingga malam ini. Saya bangga memiliki mentor politik sekaligus ayah saya. Palu harus kita benahi bersama – sama. Terima kasih ya,’’ ucap ILM tegar yang membuat kami di halaman teras rumah berkaca – kaca. Politisi luar biasa.
Hal lain yang tak sempat diperoleh jurnalis ‘dibalik’ kekalahan ILM di Pilwakot Palu pun sempat terlontar dari MHS. ‘’Nanti dievaluasi bersama. Jadikan ini pelajaran masa datang. Saya katakan kalian tidak akan dapat yang sama hal seperti ini di masa akan datang. Iya, ini dievaluasi semua. Dinda nanti ikut sama – sama evaluasi,’’ terang MHS yang sejak pagi menggunakan stelan celana kain hitam dan baju putih serta dibalut masker putih.
Pentas politik lima tahunan sudah ditutup layar depannya. Bak dramaturgi, lakonnya sudah selesai setelah KPU Palu mengumumkan rekapitulasi suara sah. Tapi, panggung politik seorang politisi tidak akan pernah selesai. Tergantung bagaimana cara mengisinya. Yang pasti, Palu memiliki politisi perempuan sekelas ILM. Ia aset sekaligus pencerah bahwa perempuan tidak hanya obyek dari sebuah event elektoral. Sukses selalu Ibu….***
penulis : andono wibisono