Ini juga ditekankan dalam Pasal 78 ayat (2) dan (3) Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, bahwa dalam penyusunan Rancangan Awal RKPD, DPRD memberikan saran dan pendapat berupa Pokok-Pokok Pikiran DPRD berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat sebagai masukan dalam perumusan kegiatan, lokasi kegiatan dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam RPJMD.
Itu adalah dalil yuridis formal. Ketentuan tersebut dapat dengan mudah dicari di mesin pencarian dunia, google. Kita langsung mudah mengetahui alur yuridis terkait Pokir anggota DPRD. Pokir secara politik adalah alat perjuangan parlemen mewujudkan kehendak rakyat sebagai simbol demokrasi, demikian inti sari diskusi redaksi bersama beberapa pakar hukum, politik dan sosial dalam dua pekan terakhir.
Lantas mengapa dalam tataran regulasi birokrasi Pokir banyak dianggap hambatan aseptabilitas kinerja organisasi perangkat daerah (OPD)? Padahal kegiatan – kegiatan OPD di setiap perangkat provinsi, kabupaten dan kota sama yaitu hasil dari penjabaran RPJPD, RPJMD, Renstra, Renstra OPD, RKPD tahunan, KUA – PPAS, dan akhirnya terwujud APBD. Dimana misleading memahami Pokir tersebut?