Sejak 3 tahun terakhir, marak perizinan dan aktivitas Sirtu di Palu dan Donggala yang prinsipnya bukan untuk memenuhi kebutuhan material pembangunan di Sulteng, namun ditengarai untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
“Debu itu dilaporkan membuat warga sesak napas, dan saya yang mengalaminya langsung jika beraktivitas profesi advokat bersidang di PN Donggala,” jelas Agussalim.
Penambangan Sirtu ini lanjutnya, sebenarnya memiliki sindikasi modal dengan elit politik dan oknum tertentu dalam jaringan kebutuhan di IKN.
Di mana hal itu dapat diketahui menjamur aktivitas pertambangan tersebut di sepanjang pesisir Kota Palu hingga Kabupaten Donggala.
Aktivitas tambang itu menyisakan debu hitam di Kelurahan Buluri, Watusampu, dan Loli Raya. Ini membuktikan perusahaan tidak dibekali cara dan bagaimana mengantisipasi debu.
“Saya tahu pelaku usaha di sana, namun saya juga bingung jika saya sampaikan bahwa debu menjadi masalah dalam investasi mereka,” ungkapnya.
Bahkan, lebih jauh Agussalim, diperlukan penanganan bersama agar ada solusi dan jalan keluarnya, supaya ebu itu tidak terjadi di kehidupan masyarakat sekitar dan warga yang melintas.
“Tapi apa ada perusahaan mau? Terus apakah ada instansi berwenang turun tangan untuk antisipasi soal debu. Ini yang tidak terjadi,” ujarnya.