Warga NU Alumni UGM Tolak PBNU Ikut Kelola Tambang

  • Whatsapp
Ilustrasi. Puluhan warga NU alumni UGM menyatakan menolak pemberian izin atau konsesi kelola tambang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. (istockphoto/Bim)

Yogyakarta,- Sejumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) alias Nahdliyin yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) membicarakan izin tambang dari pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk organisasi masyarakat atau ormas keagamaan.

Mereka menyatakan tidak mau jika NU ikut mengelola tambang-tambang yang ada di tanah air.

“Mendesak PBNU untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan,” seperti disampaikan salah satu penggagas pernyataan sikap mereka, Heru Prasetia, dalam konferensi pers daring, Ahad, 9 Juni 2024. Heru mewakili puluhan warga NU alumni UGM lainnya yang ikut menyatakan sikap.

Penolakan tersebut, tertuang dalam delapan poin pernyataan sikap atas pemberian konsesi tambang yang diikuti 68 Nahdlyin alumni UGM. Mereka berasal dari kalangan aktivis, akademisi, pengajar pesantren, peneliti, budayawan, hingga pengusaha.

Poin berikutnya, mereka meminta pemerintah membatalkan pemberian izin ini karena dirasa hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas, sekaligus melemahkan fungsi kontrol pemerintah dari ormas itu sendiri hingga terkooptasi. Heru cs juga mendesak PBNU membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan kepada pemerintah.

“Karena akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis,” lanjutnya.

Poin selanjutnya, PBNU didesak mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang. Lalu, mendesak pemerintah untuk melakukan kebijakan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi, serta konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060, di antaranya dengan meninggalkan batubara.

“Menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi,” bunyi poin terakhir.

Berita terkait