Ia menambahkan, meskipun debat disiarkan di televisi atau media online, hal tersebut tidak dapat menggantikan keterlibatan langsung publik yang seharusnya dapat hadir secara fisik di lokasi debat.
“Ini bisa mengurangi antusiasme dan partisipasi politik masyarakat di daerah, yang pada akhirnya bisa berpengaruh pada angka partisipasi pemilih,” lanjutnya.
Efisiensi Anggaran dan Ketidakadilan Logistik
Selain itu, Hartati juga menyoroti aspek efisiensi anggaran. Ia menyebutkan bahwa pelaksanaan debat di Jakarta hanya akan menambah biaya yang seharusnya bisa dihemat jika debat dilangsungkan di wilayah Sulteng.
“Dana publik seharusnya digunakan dengan bijak. Membawa seluruh tim, calon, dan panitia ke Jakarta jelas lebih mahal daripada jika debat dilakukan di sini,” ujarnya.
Hartati juga menyinggung soal ketidakadilan logistik yang dihadapi oleh calon-calon yang berbasis di daerah.
“Calon yang memiliki akses lebih mudah ke Jakarta mungkin mendapatkan keuntungan. Sementara calon yang berbasis di daerah akan menghadapi kendala lebih besar, baik dari segi biaya maupun logistik, yang akhirnya bisa menciptakan ketidaksetaraan dalam kontes politik ini,” jelasnya.
Simbolisitas Politik Lokal yang Terabaikan
Lebih jauh, Hartati menekankan bahwa pelaksanaan debat gubernur di Jakarta mengirimkan pesan yang salah tentang prioritas politik daerah.
“Pelaksanaan debat seharusnya menjadi momen penting untuk menyoroti isu-isu lokal yang relevan bagi masyarakat Sulteng. Namun, dengan mengadakan debat di Jakarta, ada kesan bahwa kepentingan lokal tidak mendapatkan perhatian yang semestinya,” tambahnya.
Sebagai penutup, Hartati mendesak KPU untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini di masa depan, dan agar lebih peka terhadap kebutuhan serta aspirasi daerah dalam pelaksanaan proses demokrasi yang lebih inklusif dan adil.***