SULTENG,- Transisi kepemimpinan nasional di Indonesia lewat Pemilu telah dicontohkan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Soft landing. Rapi dan sempurna. Rakyat suka cita. Optimis menatap masa depan.
Namun, sejarah pemilu langsung kepala daerah serentak di Provinsi Sulawesi Tengah menoreh tinta hitam. Akibatnya susu sebelanga menjadi rusak. Hak konstitusional rakyat diabaikan. Hak memilih drop pada titik nadir terendah. Rakyat tak bisa memilih. Bukan tidak mau memilih. Rakyat terhalang – halangi oleh rendahnya akuntabilitas penyelenggara.
‘’Ini Pilkada paling memalukan sepanjang sejarah Pilkada di Sulawesi Tengah. Saya mantan Ketua Panwaslu Sulteng tahun 2006 yang menyelenggarakan Pilgub pertama kali. Tapi tidak seperti ini. Kali ini benar benar tidak kridibel, tidak cakap dan akuntabel,’’ tandas juru bicara pasangan calon nomer tiga Rusdy Mastura dan Mayjen Purn Sulaiman Agusto. Andono Wibisono.
Persoalan mendasar dan saat ini menjadi perbincangan publik dan elit di Sulteng yaitu banyaknya keluhan rakyat tidak dapat memilih ke TPS. Apa lacur? Kata Cak Ando, sapaan akrabnya karena tidak memperoleh hak konstitusionalnya yaitu menerima C pemberitahuan.
Bahkan, di sejumlah desa di Parigi Moutong rakyat yang berinisiatif datang ke TPS TPS menjadi tidak dilayani karena tidak membawa KTP elektronik. Di Palu, Sigi dan Donggala. Sebuah pemandangan amat sangat ortodok, jahiliyah dan memalukan, sebut tenaga ahli komunikasi gubernur Sulteng itu.
‘’Data partai koalisi PDIP menyebut partisipasi pemilih Pilkada kali ini sangat buruk. Patut diduga ini adalah skenario yang dilakukan oknum perusak demokrasi dan melanggar hak konstitusional rakyat. Awas kalau rakyat marah harganya mahal,’’ ujarnya memberikan peringatan.