Totua adat di Katu, Mature Rore menilai film tersebut menceritakan tentang sejarah perjuangan mempertahankan sebuah wilayah dan kebersamaan masyarakat Desa Katu.
“Bagi kami masyarakat Desa Katu, kopi bukan hanya minuman tetapi punya sejarah perjuangan yang sampai sekarang masih kami ingat,” ucapnya.
Selanjutnya Tokoh pemuda Desa Katu, Golstar menambahkan dalam film tersebut menjelaskan tentang potensi Desa Katu serta peran perempuan dan kopi.
“Kami sebagai pemuda termotivasi setelah menonton film ini, kami harusnya bangga dan menjaga apa yang sudah ada di desa kami,” tuturnya.
Kemudian, perwakilan perempuan Desa Katu, Menis Torae mengemukakan, film tersebut menunjukkan secara jelas tempat kopi pertama ditanam di Desa Katu yang jauh dari perkampungan.
“Saya sudah hampir 20 tahun lebih di Desa Katu tetapi belum pernah melihat langsung kopi tua itu karena medan yang sangat sulit,” sebutnya.
Menanggapi masukan dari masyarakat Desa Katu, Kopi Enthusiast Ade Cholik Mustaqim dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa Desa Katu punya sejarah yang unik sehingga punya peluang besar untuk mempromosikan kopi.
“Dilakukan pendampingan untuk menghasilkan produk terbaik dan bisa dikenal lebih luas,” kata Ade.
Sementara itu Direktur Relawan Untuk Orang dan Alam (ROA), Subarkan menilai film tersebut menampilkan profil Desa Katu yang tidak dimiliki daerah lainnya.
“Harapannya, film ini menjadi pintu masuk bagi publik untuk mengenal Desa Katu lebih dalam. Tidak sekadar desa penghasil kopi, tapi desa yang menyimpan sejarah yang kaya dan kehidupan budaya yang lestari,” ujarnya.
Subarkah juga mengapresiasi keterlibatan aktif masyarakat Desa Katu dalam rangkaian Festival Tampo Lore.
“Ini bukan hanya tentang kopi atau film, tapi tentang jati diri masyarakat Lore yang kuat dan sadar akan nilai budayanya sendiri,” tambahnya.
Dia mengemukakan, film Kopi Tua Desa Katu akan resmi dilakukan pemutaran film perdana di Festival Tampo Lore pada akhir Juni 2025.
“Film kopi tua Desa Katu dapat disaksikan di Festival Tampo Lore,” tutup Subarkah.