Kohabitasi Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial

  • Whatsapp

Oleh: Nur Indah Ulfanny, S.Pd.Gr (Pendidik dan Pemerhati Generasi)


KASIS Mutilasi menggemparkan publik baru-baru ini, di Surabaya membuka mata kita pada bahaya liberalisasi pergaulan generasi muda. Seorang wanita muda ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuhnya dipotong hingga ratusan bagian dan disimpan di kamar kos di Surabaya. 

Setelah ditelusuri, pelakunya tak lain adalah pacarnya sendiri, orang yang justru dipercaya dan diberi tempat untuk berbagi kehidupan sehari-hari. Motifnya terdengar sepele, kesal karena tidak dibukakanpintu kos dan merasa tertekan dengan tuntutan ekonomi korban. Namun, hasil akhirnya sungguh tragis, hilangnya nyawa seorangmanusia dengan cara yang amat keji.

Fakta ini menyisakan persoalan serius, bukan hanya soalkriminalitas individual, tetapi juga cerminan tren sosial yang semakin mengakar. Kohabitasi atau living together, yaknitinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena ini kinimakin lazim di kalangan anak muda.

Dalih yang seringdikemukakan pun beragam, mulai dari ingin lebih mengenalpasangan sebelum menikah, hingga pertimbangan praktis sepertiefisiensi biaya hidup. Dalam kacamata sebagian anak mudaurban, kohabitasi dianggap hal lumrah, bahkan “modern”.

Psikolog Virginia Hanny, misalnya, menyebutkan tigapertimbangan penting sebelum memutuskan tinggal bersama: pertama, adanya kemauan kedua belah pihak tanpa paksaan; kedua, menentukan lokasi dan pembagian biaya hidup; ketiga, menetapkan tujuan serta batasan yang jelas. 

Namun, saran inisejatinya tetap menormalisasi aktivitas yang jelas-jelasmenyalahi norma agama dan budaya. Padahal, dari sisi manapunkita meniliknya, kohabitasi membuka banyak celah masalah,mulai dari konflik emosional, kekerasan, hingga tindak kriminalyang bisa berujung pada tragedi.

Sekularisme dan Normalisasi Pergaulan Bebas

Mengapa kohabitasi bisa dianggap “wajar” bahkan “positif” oleh sebagian kalangan? Jawabannya ada pada pola pikirsekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem sekuler, agama dianggap sebatas urusan privat, hanyasoal ibadah ritual. 

Sementara urusan sosial, hukum, pendidikan, hingga hubungan laki-laki dan perempuan, diputuskanberdasarkan logika pragmatis manusia.

Akibatnya, ukuran benar atau salah bukan lagi halal atau haram, melainkan suka atau tidak suka, nyaman atau tidak nyaman. Cinta diukur dari gairah sesaat, bukan dari komitmen yang sahdan tanggung jawab.

Marah pun dilampiaskan dengan cara-caradestruktif, tanpa peduli aturan Tuhan. Kasus mutilasi di Surabaya adalah contoh nyata buah pahit dari pola pikir sekuler-liberal ini.

Dalam masyarakat sekuler, pacaran dianggap biasa, bahkanmenjadi bagian dari “tahapan wajar” sebelum menikah. Tinggal serumah dengan pacar pun kian dianggap modern. Narasi media populer, konten hiburan, hingga obrolan sehari-hari perlahanmengikis tabu itu. Hasilnya, generasi muda menganggap kumpulkebo bukan lagi aib.

Sayangnya, negara pun tidak hadir untuk meluruskan. Aktivitaspacaran, perzinaan, hingga kohabitasi tidak masuk kategoritindak pidana. Barulah ketika muncul korban, kasus diproseshukum. Dengan kata lain, negara membiarkan masyarakatterjebak dalam jebakan liberalisasi, dan hanya bertindak reaktifketika terjadi kejahatan.

Dampak Sosial dan Psikologis

Fenomena kohabitasi bukan hanya soal “hidup hemat bersamapacar”. Ia membawa dampak sosial dan psikologis yang serius. Pertama, hubungan tanpa ikatan pernikahan sangat rentankonflik.

Tidak ada komitmen hukum maupun agama yang mengikat, sehingga mudah pecah hanya karena masalah sepele. Rasa cemburu, tuntutan ekonomi, atau ketidakcocokan kecil bisaberujung pada kekerasan fisik maupun psikis.

Kedua, kohabitasi memperburuk degradasi moral. Aktivitasseksual di luar nikah menjadi hal biasa, padahal jelas dilarangagama dan berisiko memunculkan masalah kesehatanreproduksi.

Ketiga, kohabitasi memunculkan dampak jangka panjang pada masyarakat: normalisasi zina, kehamilan di luar nikah, anak-anak yang lahir tanpa kepastian nasab, serta melemahnyainstitusi keluarga. Kasus mutilasi hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, ada banyak persoalan laten yang luput darisorotan.

Islam, Benteng Perlindungan Sosial

Berbeda dengan sekularisme, Islam memandang kehidupanmanusia secara menyeluruh, dari akidah, ibadah, hingga sistemsosial. Islam menegaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan diatur dengan jelas, demi menjaga martabat dan kehormatan manusia. Pacaran, zina, apalagi tinggal bersamatanpa ikatan pernikahan, termasuk perkara haram yang merusak.

Ketakwaan individu menjadi benteng pertama. Seorang muslimyang paham tujuan penciptaan dirinya, yakni untuk beribadahkepada Allah, akan menjauhi segala larangan, meskipun adapeluang atau godaan. Ia tidak akan mudah terbawa arus trensosial yang menyalahi syariat.

Namun, ketakwaan individu tidak cukup. Masyarakat juga harusberperan aktif dalam mengontrol pergaulan. Amar makruf nahimungkar bukan sekadar slogan, melainkan mekanisme sosialyang efektif. Ketika ada penyimpangan, masyarakat harus beranimengingatkan, menasihati, bahkan menegur secara langsung. Jika kontrol ini lemah, kemungkaran akan meluas tanpa batas.

Peran Negara dalam Sistem Islam

Puncaknya, negara memiliki tanggung jawab utama. Negara dalam sistem Islam tidak netral terhadap moralitas rakyat. Justrusebaliknya, negara aktif membentuk kepribadian Islami melaluisistem pendidikan, hukum, dan kebijakan sosial.

Pertama, pendidikan berbasis akidah Islam. Sejak dini, generasidibekali pemahaman yang lurus tentang halal-haram, tujuanhidup, serta aturan pergaulan. Anak muda tidak dibiarkanmencari jawaban sendiri di tengah banjir informasi yang menyesatkan.

Kedua, penerapan sistem pergaulan Islam. Laki-laki dan perempuan dibatasi interaksinya pada hal-hal yang dibolehkansyariat. Institusi keluarga dijaga, pernikahan dimudahkan, sementara perzinaan dicegah dengan berbagai aturan sosial.

Ketiga, penerapan sistem sanksi Islam. Dalam hukum Islam, pelaku jarimah seperti zina, pembunuhan, atau mutilasi dikenaihukuman tegas dan menjerakan. Bukan sekadar penjarabertahun-tahun, tetapi hukuman yang sesuai syariat agar menjadipelajaran bagi masyarakat.

Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kasus-kasus tragisseperti mutilasi akibat kohabitasi bisa dicegah sejak awal. Bukanmenunggu korban jatuh, baru sibuk mencari solusi.

Penutup

Kasus mutilasi di Surabaya bukan sekadar kriminalitas personal, tetapi cerminan rapuhnya sistem sosial sekuler-liberal yang membiarkan pergaulan bebas merajalela. Normalisasi pacarandan kohabitasi hanyalah bom waktu yang menunggu meledakdalam bentuk konflik, kekerasan, dan tragedi.

Islam menawarkan solusi komprehensif. Individu diperteguhdengan ketakwaan, masyarakat berperan dalam kontrol sosial, dan negara bertanggung jawab membangun sistem berbasissyariat. Dengan cara ini, kehormatan manusia terjaga, keluargaterlindungi, dan tragedi serupa tidak lagi berulang.

Generasi muda tidak butuh gaya hidup kebarat-baratan yang merusak, melainkan butuh panduan hidup yang jelas, yang hanya bisa ditemukan dalam Islam. Inilah jalan yang bukanhanya menyelamatkan individu, tetapi juga masyarakat secarakeseluruhan.***

Berita terkait