Isu Wacana Pembubaran Kepolisian dan Taruhan Konstitusi

  • Whatsapp

Oleh: Sigit Wibowo


Isu pembubaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) belakangan ini kembali bergeming. Narasi ini berkembang bersamaan dengan adanya wacana pembentukan Kementerian Keamanan RI yang disebut-sebut akan mengambil alih fungsi kepolisian.

Dalam situasi ketika kinerja penegakan hukum tengah menjadi sorotan, gagasan ini terdengar extreme dan memancing perdebatan masyarakat luas. Tetapi, bila dikaji dari objek hukum tata negara, ide tersebut bukan hanya problematis, tetapi juga mengandung resiko konstitusional dan kelembagaan yang amat serius.

Polri bukan hanya sekadar institusi administratif. Ia merupakan organ negara yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan ini menegaskan peran Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Posisi ini menjadikan Polri sebagai salah satu pilar konstitusional sistem keamanan nasional Indonesia. Maka dari itu, upaya untuk membubarkan atau merubah bentuk Institusi ini tidak bisa dilakukan lewat kebijakan teknis ataupun keputusan politik singkat. Setiap perubahan terhadap kedudukan Polri hanya mungkin ditempuh lewat jalur amandemen konstitusi.

Amandemen UUD 1945 bukan perkara sederhana. Secara prosedural, perubahan harus diusulkan oleh sedikitnya sepertiga anggota MPR dan disetujui oleh lebih dari separuh anggota MPR dalam sidang paripurna. Selain menyangkut legitimasi politik, langkah ini juga akan menyeret negara ke dalam proses rekonstruksi besar terhadap desain kelembagaan keamanan nasional.

Fungsi-fungsi kepolisian yang saat ini terintegrasi akan terpecah ke berbagai lembaga. Dalam kondisi ini, potensi tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi, dan kekosongan hukum (legal vacuum) hampir tak terelakkan.

Konsekuensi lainnya juga tidak kecil. Ratusan regulasi atau peraturan harus direvisi, mulai dari Undang-Undang Kepolisian, KUHP, KUHAP, hingga peraturan teknis di berbagai sektor seperti lalu lintas, narkotika, dan keamanan dalam negeri. disisi lain, status ratusan ribu Anggota Kepolisian serta infrastruktur kelembagaan harus ditata kembali.

Proses ini akan membutuhkan waktu yang tidak singkat, biaya besar, serta masa transisi yang rawan terhadap instabilitas keamanan. Dalam kacamata tata negara, perubahan kelembagaan sebesar ini bisa memicu ketidakpastian hukum yang melemahkan kepercayaan publik terhadap negara.

Kritik terhadap Polri bukanlah hal baru dan merupakan bagian wajar dari dinamika demokrasi. Tetapi, kelemahan institusional ada baiknya dijawab dengan langkah perbaikan, bukan pembubaran.

Reformasi kelembagaan yang rasional diarahkan pada penguatan tata kelola, transparansi, dan pengawasan baik internal maupun eksternal untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas. Menghapus institusi konstitusional justru berisiko lebih besar daripada manfaat yang dijanjikan.

Konstitusi bukanlah eksperimen ruang politik. Menghapus Polri sama saja merubah fondasi negara yang telah menopang stabilitas nasional selama puluhan tahun. Jalan yang lebih elegan adalah memperkuat dan memperbaiki kelembagaan, bukan menghapusnya.

Dalam negara hukum, memperkuat pilar konstitusi adalah bentuk keberanian, sedangkan meruntuhkannya atas dasar ketidakpuasan sesaat justru merupakan langkah mundur. ***

Berita terkait