Tambang dan Kekuasaan; Ketika Izin Bukan Sekadar Tehnis

  • Whatsapp



Kedua, izin tambang tidak pernah steril dari kepentingan elite. Dalam banyak kasus, konsesi pertambangan bersinggungan dengan relasi bisnis–politik, mulai dari pendanaan pemilu hingga konsolidasi kekuasaan pasca-kontestasi. Tambang lalu berfungsi sebagai mata uang politik, alat balas jasa, dan sarana memperkuat jejaring oligarki. Dalam konteks ini, kebijakan pertambangan sulit disebut netral.


Ketiga, posisi kepala daerah menjadi serba salah. Ketika masyarakat menolak tambang karena ancaman lingkungan atau ruang hidup, kepala daerah berada di garis depan protes. Namun mereka tidak memiliki kewenangan final untuk menghentikan izin. Ketika konflik membesar, yang disalahkan adalah pemerintah daerah, sementara pusat tetap berada di balik layar. Ini menciptakan defisit akuntabilitas yang berbahaya bagi kepercayaan publik.


Lebih jauh, tambang juga berpotensi menjadi alat disiplin politik. Daerah yang kooperatif dan sejalan dengan kepentingan pusat bisa mendapatkan karpet merah investasi. Sebaliknya, daerah yang kritis atau vokal terhadap kebijakan nasional berisiko mengalami perlambatan izin atau pengabaian aspirasi. Mekanisme ini mungkin tak tertulis, tetapi terasa nyata dalam praktik kekuasaan sehari-hari.


Dampaknya terhadap demokrasi lokal tidak bisa diremehkan. Partisipasi publik sering dipersempit menjadi formalitas AMDAL, konflik horizontal meningkat, dan kriminalisasi terhadap warga penolak tambang kian marak. Ketika suara lokal dikalahkan oleh kepentingan modal dan politik, demokrasi kehilangan substansinya.


Karena itu, perdebatan tentang tambang tidak cukup berhenti pada soal investasi dan pertumbuhan ekonomi. Yang dipertaruhkan adalah arah pengelolaan kekuasaan dan kualitas demokrasi. Tanpa transparansi, pelibatan bermakna pemerintah daerah, dan partisipasi publik yang nyata, izin pertambangan akan terus menjadi simbol ketimpangan kuasa antara pusat dan daerah.


Pada akhirnya, tambang seharusnya menjadi berkah bersama, bukan alat segelintir elite. Jika tidak, kita hanya memindahkan kekayaan dari perut bumi ke puncak kekuasaan—sementara rakyat di sekitar tambang menanggung debu, lumpur, dan sunyi keadilan. (penulis, mantan wakil ketua DPRD Sulawesi Tengah) ***

Berita terkait