Tiga Modus; dari Agen Cantik sampai Film Porno

  • Whatsapp
Aksi CIA Gulingkan Sukarno

BERBAGAI Cara dilakukan Central Intelligence Agency (CIA) untuk mengganggu Presiden Sukarno. Mulai dari menyusupkan agen CIA cantik ke Istana Negara, membiaya partai politik lawan penguasa hingga membuat film porno.

Willem Oltmans dalam buku, “Bung Karno Sahabatku” menuturkan bahwa Presiden Amerika Serikat John F Kennedy pernah minta maaf kepada Presiden Sukarno, karena yang telah dilakukan oleh CIA tersebut. Hal itu dikatakan Bung Karno kepada Willem di tahun 1966 dalam sebuah percakapan.

“Kamu tahukan, apa yang selalu dilakukan CIA di sini? Presiden Kennedy telah meminta maaf kepadaku mengenai hal itu tahun 1961 di Gedung Putih. Saya percaya padanya. JFK (John F Kennedy) adalah Presiden Amerika pertama yang saya percaya,” kata Bung Karno kepada Oltmans.

Berikut ini aksi CIA yang dilakukan untuk merongrong Bung Karno. Dua orang agen CIA disusupkan ke Istana Negara untuk memata-matai aktivitas Bung Karno di kurun waktu 1963-1964. Agen pertama adalah seorang gadis cantik dengan usia sekitar 19-22 tahun dan tinggi badan 170 senti meter. Dia menyamar sebagai mahasiswi yang ingin belajar kebudayaan Indonesia.

Guntur Soekarnoputra dalam bukunya, “Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku” menggambarkan sosok agen cantik itu; kulit kuning mulus, hidung mancung, rambut hitam kecoklat-coklatan pekat, bibir merekah merah jambu, dada montok berisi, pinggang laksana pinggang semut, pinggul berkembang subur. “Paha dan betis seperti punya Ken Dedes,” kata Guntur.

Si gadis agen CIA itu tekun belajar menari, berlatih gamelan, dan luwes kala mengenakan kebaya. Presiden Sukarno pun terpicut untuk mengajak perempuan tersebut tinggal di Istana. Beruntung Presiden Pakistan kala itu Ayub Khan memberi tahu Bung Karno bahwa perempuan tersebut adalah agen CIA. Sang perempuan pun diusir dari istana.

Selain perempuan itu, rupanya CIA juga berusaha menyusupkan satu lagi wanita ke Istana Negara. Hal itu terungkap dalam buku Willem Oltmans dalam buku, “Bung Karno Sahabatku”. Bung Karno dalam sebuah lawatannya ke Mesir pernah didatangi seorang perempuan muda bernama Pat Price yang ingin menulis buku tentang Indonesia.

Bung Karno pun memfasilitasi agar perempuan tersebut bisa ke Jakarta dan masuk Istana. Presiden Sukarno menunjuk seorang asisten untuk membantu perempuan tersebut. Beberapa bulan kemudian Dinas Penerangan menginfomasikan kepada Bung Karno bahwa Pat Price adalah seorang agen CIA.

“Pat Price yang genit dan cantik itu rupanya seorang agen CIA,” kata Sukarno seperti ditulis Willem Oltmans. CIA juga memainkan peran dalam Pemilu pertama Indonesia, 1995 yang disebut-sebut paling demokratis. Namun kala itu sempat berembus kencang isu gelontoran dana asing terhadap dua partai besar, Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Adalah Tim Weiner lewat bukunya, Membongkar Kegagalan CIA secara lugas menyebut Amerika Serikat menjadi penyokong dana Masyumi.

“Besarnya hingga satu juta dolar ke Masyumi untuk Pemilu parlemen pertama di Indonesia,” tulis Tim dalam buku terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2008, tersebut. Masyumi dilirik karena diketahui cukup vokal terhadap Sukarno dan menjadi rival utama PKI. Tim mengutip keterangan mantan agen CIA Joseph B. Smith bahwa uang sebesar itu diberikan begitu saja tanpa harus ada laporan pertanggungjawaban. Dalih utamanya ya agar tidak ketahuan. “Sama sekali tak ada bukti tertulis, atau laporan apa-apa mengenai uang yang jumlahnya sangat besar itu,” tulis Tim.

Dengan menyokong Masyumi, AS berharap jika Masyumi mengontrol pemerintah pasca pemilihan anggota parlemen, akan membatasi aktivitas komunis dan Indonesia menjadi lebih ramah kepada Barat.

Bagaimana dengan PKI? Secara formal, seperti halnya Masyumi dan umumnya partai politik kala itu maupun saat ini, selalu menyebut iuran anggota dan pengurus sebagai sumber dana partai. Tapi mengingat PKI lebih banyak membidik kalangan rakyat bawah atau proletar yang untuk makan sehari-hari saja sulit, bagaimana mungkin mereka akan membayar iuran untuk partai. Tak heran bila kemudian berkembang anggapan bahwa partai ini mendapat sokongan dana dari Uni Soveit dan Tiongkok, dua negara besar sebagai ‘embahnya’ penganut paham komunisme.

Merujuk Donald Hindley dalam buku The Communist Party of Indonesia termasuk yang mempercayai dugaan semacam itu kendati tak ada bukti yang kuat. Selain dari Soviet, tulis Hindley seperti dikutip Arief Ikhsanudin di majalah Historia No 26 Tahun 2015, tiga juta WNI keturunan Tionghoa turut menjadi donatur PKI. Tentu saja mereka ada yang melakukannya karena terpaksa akibat tekanan dari pihak Kedutaan Tiongkok di Jakarta.

Toh begitu, kinerja Masyumi ternyata tak sesuai harapan karena cuma meraih 7.903.886 suara di bawah PNI di posisi teratas dengan 8.434.653 atau 22,32 persen. Di bawah Masyumi ada Nahdlatul Ulama, baru PKI di empat besar dengan perolehan sekktar 6 juta suara.

Lukman Hakiem yang pernah menulis biografi beberapa tokoh Masyumi menepis laporan CIA seperti ditulis Tim Werner. Ia lebih percaya soal dukungan dana dari luar negeri terhadap partai-partai di Indonesia kala itu lebih sebagai bagian dari psy war. “Secara formal melalui pengurus partai itu taka da. Pak Anwar Harjono pernah mengklarifikasi isu tersebut,” kata Lukman kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Ia mengakui tokoh Masyumi yang dekat dengan Amerika itu pada era 1950-an cuma Pak Soekiman Wirjosandjojo. Tapi masa kepemimpinan Soekiman tak lama karena skandal kerja sama keamanan dengan Amerika. “Kalau di era Pak Natsir kan kebijakan politiknya bebas-aktif, tak condong ke manapun. Beliau juga kan menolak tawaran untuk hijrah ke luar negeri pasca peristiwa PRRI,” papar Lukman yang pernah menjadi staf khusus Wakil Presiden Hamzah Haz.

Ia juga merujuk pendapat Audrey Kahin dan George McT Kahin yang menulis laporan, “Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia” bahwa Amerika Serikat memang benar bersimpati kepada para pemimpin Masyumi , dan itu dimulai sejak awal 1950-an. Meskipun demikian, sekurang-kurangnya selama periode itu, tidak ada tanda-tanda bantuan keuangan yang ditujukan kepada partai modernis itu. Modus lain yang pernah ditempuh CIA adalah dengan membuat film porno yang bintangnya seolah-olah Bung Karno. William Blum dalam buku “Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II”, menyebut CIA sampai harus melakukan seleksi untuk mencari pemeran pria yang mirip dengan Bung Karno: berkulit gelap khas Asia dan kepala botak. Maka dibuatlah topeng yang mirip dengan wajah Bung Karno.

Menurut Blum, pada akhirnya CIA berhasil membuat sejumlah foto. Namun dia tak tahu apakah akhirnya gambar-gambar itu jadi digunakan untuk menyerang Bung Karno atau tidak. “Proyek ini menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,” tulis William.

Ada beberapa versi yang menyebut alasan CIA batal menyebarkan film porno tersebut. Beberapa pengamat menilai kampanye hitam dengan video porno tak akan mempan menjatuhkan Sukarno. Ada yang beranggapan sebagai seorang pria berkuasa, sah-sah saja Sukarno berhubungan dengan banyak wanita. Toh raja-raja di Nusantara dulu juga banyak memiliki istri dan selir. **

Sumber: detik.com

 

Berita terkait