KAILIPOST.COM,- SESUNGGUHNYA terlalu dini untuk mambahas soal ini. Anies Baswedan tengah menjabat gubernur, tetapi lantas hendak diparalelkan dengan “jalan nasib” Joko Widodo. Yang disebut terakhir ini memang terus naik daun ketika itu: menjabat walikota Solo terus Gubernur DKI Jakarta, lantas jadi kandidat presiden, terpilih pula. Apakah Anies akan ikut alur semacam itu? Saya tidak dalam posisi bisa menolak permintaan redaksi majalah ini untuk sekadar mengulasnya. Maka, ulasan saya ini tentu terikat dengan kondisi-kondisi politik hari ini. Adapun nama Anies terkenal, ya. Bukankah dia kini menduduki jabatan yang terus jadi sorotan dan harapan publik, tak hanya Jakarta, tapi meluas se-Indonesia? Dia telah menjadi incaran pemberitaan, dan publik Indonesia mengikutinya.
Dalam politik, modal terkenal itu penting. Anies telah punya itu. Untuk menjaga popularitasnya, dia telah punya panggung. Dia telah masuk dalam serial sinetron politik yang ditonton orang banyak. Dia pemain utamanya dalam sinetron politik DKI, yang sesungguhnya mencerminkan miniatur Indonesia itu. Dia harus protagonis terus-menerus, kalau mau popularitasnya terjaga bahkan terlonjak. Media perannya jadi begitu penting di sini: kalau popularitas protagonisnya optimal, hal ini bisa jadi modal dasar bagi pelejitan elektabilitasnya.
Tapi, Anies terikat janji memimpin Jakarta. Misalnya kalau ada peluang yang sangat besar dan ada parpol yang cukup mendukungnya, dia bisa saja mengiyakan, kendati terbentur problem etis. Dalam tradisi politik elektoral, problem etis tampaknya, merujuk kasus-kasus sejenis yang relevan di mana gubernur aktif diajukan sebagai kandidat presiden atau bupati/walikota aktif sebagai kandidat gubernur, sekadar terhenti di tingkat wacana. Perspektif legal pun segera menggusur perspektif etis. Para pendukung biasanya sudah siap dengan jurus, “Apanya yang salah? Kan tidak melanggar hukum?”
Dalam kasus Jokowi sebagai walikota Solo ke pilgub, gubernur DKI ke pilpres, semua lancar dan tidak melanggar hukum, bukan? Dan orang sudah cepat melupakan problem etisnya. Begitu kekuasaan diraih, maka konsentrasi publik beralih ke konteks cara memimpin dan dampak kebijakannya. Dalam konteks ini, terngianglah adagium populer dalam politik kontestasi: kampanye satu hal, memerintah hal yang lain.
Soal lompatan politik dari walikota ke pemimpin eksekutif teringgi, sesungguhnya tak hanya dialami Jokowi. Telah banyak kasus serupa. Recep Tayyip Erdogan pernah dari walikota Istanbul ke perdana menteri, dan ketika sistem pemerintahan Turki berubah jadi presidensial, dia terpilih pula sebagai presiden.
Oleh : M Alfan Alfian (Direktur Pascasarjana Ilmu Politik, UNJ)