Pemda Harus Minimalisir Dominasi Pusat

  • Whatsapp
banner 728x90
Sumber: Dedi Askary

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan
Sulteng meminta pemerintah untuk berani ambil tindakan dan program afirmatif
atasi silang sengkarut dan dominasi Jakarta (pusat) dalam penanganan korban
bencana alam di Sulteng.

Dalam release Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedi
Askary menjelaskan tindakan dan program afirmatif adalah tindakan dan program
positif di luar dari tindakan dan program yang umum dilakukan dalam tatalaksana
program penanggulangan korban bencana alam di Pasigala dan Parigimoutong.

“Utamanya bagi korban yang terdampak langsung,
terkhusus bagi mereka yang wilayah atau tempat tinggal mereka setelah
gempabumi, tsunami dan likuefaksi  “diklaim” berada di zona
merah,” kata Dedi Askary, Minggu (27/1/2019).

Menurutnya mempertahankan pola-pola yang ada
sekarang dipastikan hanya semakin memperbesar potensi kerentanan yang bakal
terjadi dan dan menimpa korban yang hingga kini semakin nyata terlihat dan
nyata dirasakan oleh masyarakat  yang terus bertahan di tenda-tenda
pengungsian mandiri yang mereka usahakan sendiri dari semenjak awal bencana
alam menghatam masyarakat lembah dan pesisir pantai Palu, Donggala, Sigi dan Parmout.

“Mereka yang terdampak dan terus bertahan di tempat
pengungsian bahkan yang sudah pindah dan menempati huntara adalah rata-rata kelompok
masyarakat terdampak yang sama sekali tidak memiliki aset-aset penghidupan yang
dapat diandalkan untuk dijadikan tumpuan hidup dan membangun masa depan
mereka,” jelasnya.

Otoritas pemerintahan yang ada harus menjamin dan
memastikan bahwa tidak ada pengabaian dan diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok minoritas seperti perempuan, orang yang dimata elit 
(maaf meminjam istila dalam sepak bola) sebagai “penduduk
naturalisasi” di daerah ini, warga masyarakat berkebutuhan khusus
(cacat/kaum difabel, orang berusia lanjut, dll) program dan tindakan afirmatif
penting dan segera dilakukan, minimal dimulai dengan merubah pola hubungan dan
pola komunikasi yang lebih baik dengan semua pihak, utamanya dengan masyarakat
yang terdampak langsung dan organisasi masyarakat sipil yang acap kali
menyampaikan saran, kritik secara kritis dan tajam bahkan penuh gelora dan
meledak-ledak, tidak jarang hal serupa (model menyampaian serupa) datang dari
masyarakat yang terdampak itu sendiri.

Kita harus bijak merespon senyatanya, ini 
bukan soal ber-etika atau tidak beretika, harus dipahami, dalam situasi yang
ada mereka adalah pemangku hak, berhak untuk tahu dan menyuarakan hal-hal
menyangkut pemenuhan hak mereka, lebih jauh ini menyangkut masa depan
penghidupan mereka, selaku pemangku kewajiban, otoritas penyelenggara
pemerintahan yang ada, mestinya lebih bijak merespon semuanya, jangan
sekali-kali beri respon yang justru semakin memperluas batas dembarkasi dengan
masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, pastikan metode yang tepat, rangkul
semuanya, bila perlu bersatu dalam sikap dan kegiatan yg bersifat kolaboratif
“Upayakan Jakarta atau pihak-pihak yang hendak membantu, bermain di papan catur
lokal yang mengedepankan kesejarahan dan pengetahuan lokal yang hidup ramah
dengan bencana,” tegas Dedi.

Melakukan tindakan afirmatif diperlukan strategi
untuk mengatasi hambatan-hambatan institusional karena tindakan-tindakan atau
pola hubungan yang nampak saat ini, cenderung mengabaikan keberadaan masyarakat,
jika tidak hendak dikatakan diskriminatif dan penuh prasangka yang terbawa dari
masa bencana akibat abai dan tidak siapnya kita menghadapi bencana yang bisa
saja selalu datang tiba-tiba.

Tujuan utama dari tindakan afirmatif adalah untuk
menciptakan akses dan ketersediaan secara cepat dengan cara-cara yang
bermartabat bagi kaum perempuan dan kelompok minoritas di bidang pemenuhan
pemukiman dan perumahan yang layak, pendidikan, pekerjaan atau penyediaan segera
aset-aset penghidupan masyarakat yang terdampak bencana, akses politik, dst
yang sebelumnya tertutup pada masyarakat yang terdapak dalam peristiwa becana
alam 28 September 2018 serta bencana-bencana alam setelahnya (banjir bandang,
tanah longsor, dll).

“Minimal ada pelibatan secara aktif dalam setiap
forum-forum perencanaan atau setidak-tidaknya  pelibatan secara aktif
ketua-ketua forum korban yang tersebar di banyak tempat dihampir semua kelurahan
dan desa yang ada di Palu, Sigi, Donggala dan Kabupaten Parigimoutong pada
setiap forum-forum sosialisasi rencana dan program. Derajat konsekuensi sangat
ditentukan oleh tindakan manusia utamanya oleh otoritas penyelenggara pemerintahan
atau malahan oleh ketidak adaan tindakan yang bijak dari otoritas penyelenggara
penerintahan itu sendiri,” pungkasnya.**








Berita terkait