Oleh: Andono Wibisono (Pemimpin Redaksi kailipost.com)
TRAGEDI Wamena di Papua mulai menyita perhatian publik, yang sebelumnya terlunta-lunta di gelombang informasi yang mengarus-utamakan demontrasi mahasiswa di beberapa daerah di tanah air. Demontrasi mahasiswa yang sporadis, tapi massif kemana-mana. Isunya tidak idiologis, tapi aggregratif dan strong. Analisa politisi dan intelejen pun dibuat kuwalahan soal aksi mahasiswa tidak akan berlangsung lama dan mudah loyo, ternyata tidak.
Extra Judicial Killing, atau membunuh di luar pengadilan kini tengah berlangsung di tanah Papua, Wamena. Orang Non Papua (saya ingin memperhalus sebutan ‘pendatang’ untuk kaum yang datang ke Papua) kini terusir, mengungsi, ada yang rumahnya terbakar, usahanya habis dijarah, bahkan informasi yang disampaikan media sudah puluhan tewas terbunuh. Semalam disebut sudah 32 orang tewas. Mati di luar hukum atau putusan pengadilan.
Mengapa Papua tiba-tiba membara? Ada apa? Mantan anggota Komnas HAM asal Papua, Natalius Pigai menyebut kemarahan orang Papua bagai puncak gunung es yang 58 tahun dipendam, disimpan, sakit hati, tertindas bahkan tercerabut dari hak-hak sebagai pemilik negeri. Kemarahan itu membuncah bagai nanah bisul yang telah lama dari kecil hingga membesar.
Di Papua, orang non Papua sudah menguasai sumber-sumber vital. Pasar, perdagangan, tambang-tambang illegal, jabatan birokrasi bahkan hingga ruang-ruang politik. Perantau sudah hampir 90 persen menjadi politisi di sebuah kabupaten di Papua. Orang non Papua pendeknya sudah menguasai bumi, air dan tanah serta isinya di tanah Melanesia itu. Bahkan bisnis esek-esek atau ‘bisnis lendir’ pun yang menjajakan adalah orang-orang non Papua. Tidak hayal, Wamena adalah kota penyakit HIV/AIDS sangat tinggi.
Ruang-ruang bumi, air dan udara serta di atasnya Papua hanya sedikit dinikmati orang Papua. Ironisnya, penguasaan bumi, air dan tanah serta isinya dibekingi oleh oknum-oknum aparat. Orang non Papua bahkan banyak yang menjadi milisia aparat, Mata-mata aparat. Bahkan mengandalkan beking aparat.
Kalau ada pejabat dari orang Papua, pasti akan jadi bulan-bulanan. Diperas atas nama akan diperiksa, akan dilapor, akan diselidiki. Tujuannya agar proyek dan kebijakan leluasa dinikmati. Lagi-lagi aparat, pejabat dan orang non Papua umumnya 58 tahun berlangsung. Kakta-fakta itu bisa dilihat mengapa kabupaten-kabupaten di Papua sering WTP (wajar tanpa pengecualian) laporan keuangannya dari BPK RI.
Kita harus jujur, walau menyakitkan. Papua sudah terlalu lama menyimpan sejarah pahit. Bila hari ini kita menyaksikan atas nama kemanusiaan, maka 58 tahun pula orang asli Papua yang Melanesia itu pun terpenjara dengan hak-hak kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara tidak hadir di Papua. Kalau pun hadir hanya menambah luka dan kepahitan. Mereka bagai ‘perantau’ di negeri sendiri.
INDONESIA KEMANA
Lima tahun terakhir, aggregatif ketimpangan dan kesenjangan kian mengangga. Itu dipicu oleh besarnya kue ekonomi yang timpang antar anak bangsa. 5 persen penduduk menguasai tanah, air dan udara hingga 90 persen Indonesia tidak hanya jadi bualan politik. Maraknya tenaga kerja asing (bahkan yang unskill) menyerbu hingga ke daerah-daerah telah menjadi pemandangan luar biasa. Orang non Indonesia atau asing kini bagai soft landing ke tanah Indonesia. Sangat empuk.
Sebut misalnya; soal Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmen Naker) Nomor 228 Tahun 2019 sebulan lalu – 27 Agustus 2019. Kepmen itu membuka seluas-luasnya (kata yang melebihi selebar-lebarnya) tenaga kerja asing. Umumnya RRC. Kepmen Naker ini membebaskan semua tenaga asing bekerja sebebas-bebasnya dari jenis pekerjaan apapun. Bebas. Pokoknya. Bahkan ada pengamat menyebut 40 juta pengangguran RRC siap ke Indonesia, saya belum mengonfirmasi kebenarannya dari media-media.
Pada Kepmen Naker itu ada 2.197 jenis pekerjaan yang diperbolehkan untuk orang non Indonesia. Sekali lagi, untuk orang non Indonesia. negara mana yang tertarik dengan jenis-jenis pekerjaan yang dibebaskan Kepmen Naker itu? Pastilah orang eropa tidak akan massif tertarik. Orang Amerika dan bahkan orang jazirah Arab. Orang mana? Kita saksikan sama-sama saat ini.
Indonesia harus belajar dari peristiwa Papua, Jangan gegabah. Sudah banyak tanah, air da nisi tumpah darah dikuasai oleh orang-orang non Indonesia. ‘Terusirnya’ orang-orang non Papua dari tanah leluhurnya dengan mencari hidup dengan merantau tak lain karena ingin survive. Mereka ada yang dari Jawa, Sulawesi dan ujung Papua, yaitu Sumatera.
Lantas, apabila orang-orang non Indonesia telah menguasai segenap tumpah darah yang dibekengi oknum pejabat, dilindungi aturan yang konspiratif apakah hal yang sama tidak akan membuncah? Kesulitan ekonomi, sulitnya mencari kesempatan kerja dan pekerjaan, biaya hidup makin tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan mulai mahal adalah rentetan fakta yang dialami orang Indonesia. juga seperti saat ini yang dialami orang Papua. Mereka bagai “merantau di negeri sendiri, Jangan biarkan Indonesia menjadi Papua”. **