Investigasi: Cerita Uang di Balik Segel Huntara

  • Whatsapp
Inilah suasana huntara di Pengawu di siang hari, Minggu, 22 September 2019
banner 728x90

OLEH: TASMAN BANTO

Penulis adalah Wartawan Harian Mercusuar

Pemerintah membangun 699 unit hunian sementara senilai Rp 417 miliar untuk 8.388 penyintas. Anggaran tergunting sebelum dimulai.

NAPAKAREBA dan istrinya hanya bisa pasrah ketika belasan lelaki tiba-tiba memasang pita kuning-hitam mengelilingi tempat tinggalnya. Aksi itu mengingatkan ia pada aksi polisi ketika membatasi tempat kejadian perkara. Tapi di huntaranya tak terjadi kejahatan. Para pria itu juga tak seperti polisi. Apa yang terjadi?

Pertanyaan Napakareba terjawab setelah seorang lelaki membuat grafitti di dinding biliknya dengan cat semprot. Tulisannya besar-besar, warnanya merah. Bunyinya: Huntara ini disegel, belum lunas dibayar!

Aksi itu terjadi di Huntara (Hunian Sementara) Mamboro, di tengah siang yang terik, pada Kamis, 16 Mei 2019. Pelakunya para pegawai CV Livbar Perkasa yang membangun tiga unit Huntara Mamboro, salah satunya yang ditinggali Napakareba.

Orang-orang CV Livbar menyegel huntara tersebut karena sebagian besar uang proyek senilai Rp 1,3 miliar belum dibayar oleh PT Unik Sejahtera Bersama, perusahaan yang memberikan pekerjaan pembangunan huntara tersebut. Padahal huntara dengan 36 bilik itu sudah rampung sekitar enam bulan sebelumnya.

FOTO 6: Air berbau busuk menggenangi permukaan septic tank di salah satu unit huntara di Mamboro akibat pipa pembuangannya tersumbat, 22 September 2019. Kerusakan ini terjadi hanya sekitar dua bulan setelah huntara ditempati. Foto: Tasman

Tapi aksi itu tak membuat duit pembayaran cair. Maka, sekali lagi, pada 28 Juni 2019, Huntara Mamboro digeruduk. Kali ini yang beraksi para pegawai CV Karunia Nabelo. Direktur CV Karunia Nabelo, Dedi Kristian, giliran menulis di dinding huntara. Bunyinya: “PT PP (Pembangunan Perumahan, red.) mana tanggung jawabmu. Material bangunan dan jalan kawasan huntara belum lunas dibayarkan. Sudah 6 bulan kami menunggu.”

Kali ini Napakareba benar-benar gelisah. Apakah huntaranya akan disita dan harus dikosongkan? Di mana dia akan tinggal?

Tapi rupanya aksi kedua itu berhasil. Tiga hari kemudian beberapa pria datang untuk menghapus tulisan di dinding huntara. Napakareba merasa dadanya plong. “Syukurlah, kami tak diusir,” kata pria 69 tahun itu ketika ditemui Mercusuar di Huntara Mamboro, 28 Juli 2019 lalu.

Namun penyegelan Huntara Mamboro menguak masalah lain: praktik subkontrak bertingkat yang mengerogoti anggaran proyek.

***

FOTO 5: Dua kamar mandi di salah satu unit huntara Pengawu ditutup dan ditulisi RUSAK oleh penghuninya. Kamar mandi itu dititup karena pipa pembuangan airnya tersumbat.Foto:Tasman

Huntara Mamboro adalah bagian dari 699 unit huntara yang dibangun pemerintah untuk korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, di Sulteng. Huntara ini diperuntukkan bagi 240 keluarga korban tsunami di Kelurahan Mamboro dan Kelurahan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Utara.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjuk PT PP sebagai pelaksana pembangunannya. Anggarannya Rp 450 juta per unit. Seluruhnya ada 20 unit huntara yang harus dibangun PT PP di Mamboro.

Selain PT PP, Kementerian PUPR menunjuk 20 perusahaan lainnya sebagai pelaksana pembangunan huntara dengan anggaran Rp 417 miliar itu. Delapan perusahaan adalah perusahaan plat merah, yakni  PT PP, PT Perentjana Djaja, PT Wijaya Karya, PT Waskita Karya, PT Hutama Karya, PT Adhi Karya, PT Nindya Karya, PT Brantas Abipraya. Tigabelas perusahaan lainnya adalah kontraktor lokal. Ke-20 perusahaan ditunjuk langsung oleh Kementerian PUPR.

FOTO 3 : Plafon bagian depan salah satu bilik huntara di Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu sudah rusak ketika dikunjungi, Minggu, 22 September 2019.Foto: Tasman

Dalam keadaan darurat bencana, pekerjaan kontruksi memang dibenarkan melalui penunjukan langsung. Hal itu tertuang dalam Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Kontruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Masalahnya, PT PP kemudian menyerahkan seluruh pekerjaan kepada PT Unik Sejahtera Bersama (USB), sebuah perusahaan asal Bekasi, Jawa Barat. Padahal, penyedia dilarang mengalihkan dan/atau mensubkontrakkan sebagian atau seluruh pekerjaan. Pengalihan seluruh pekerjaan hanya diperbolehkan dalam hal pergantian nama penyedia, baik sebagai akibat peleburan (merger) atau akibat lainnya.

Tapi, menurut Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), Setya Budi Arijanta, karena saat itu dalam kondisi darurat, pemerintah bukan hanya diperbolehkan menunjuk langsung perusahaan untuk mengerjakan huntara, namun BUMN tersebut boleh mencari kontraktor untuk mengerjakannya.

“Dan itu namanya bukan disubkontrakkan, karena BUMN itu dianggap pemilik pekerjaan,” kata Eks Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP itu ketika dihubungi Mercusuar per telepon, Sabtu, 21 September 2019.

Denah Huntara

Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah, Ferdinand Kana Lo, mengamini pendapat Setya. Namun ia mengakui praktik subkontrak itu baru diketahuinya setelah adanya kontraktor lokal yang menyegel Huntara Mamboro dan Pengawu. “Tapi memang tak ada kewajiban pelaksana proyek memberi tahu,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon di Luwuk, Kabupaten Banggai, Kamis,19 September 2019.

Tapi nanti dulu. PT USB ternyata hanya mengerjakan 11 dari 20 unit huntara. Sembilan unit lainnya oleh USB disubkontrakkan lagi ke seorang kontraktor lokal, Zulkifli Asdar.

Rupanya Zulkifli pun hanya mengerjakan 1 unit huntara. Sisanya ia bagikan ke sekitar 10 kontraktor lokal. Bukan sembarangan pemborong yang ia pilih. Salah satu syaratnya: kontraktor itu harus mengerjakan proyek dengan modal sendiri dulu.

Salah satu kontraktor tersebut, itu tadi, CV Livbar Perkasa yang menyegel Huntara Mamboro. Perusahaan yang beralamat di Kabupaten Parigi Moutong, 2 jam dari Kota Palu, ini mendapat pekerjaan pembangunan satu unit huntara Mamboro dari Zulkifli pada akhir November 2018.

Yuli dari CV Livbar bercerita, mulanya ia yang proaktif mencari proyek, begitu mendengar ada pembangunan huntara besar-besaran di Kota Palu. Dari sesama teman kontraktor, dia mendapatkan petunjuk bahwa Zulkifli sedang memegang banyak proyek huntara.

Lalu, Yuli menemui Zulkifli dan meminta satu unit huntara untuk dikerjakan. Zulkifli setuju asalkan CV Livbar bisa menyelesaikan pekerjaan ini dalam tempo satu bulan dan tanpa modal awal.

Kecepatan kerja CV Livbar memikat PT USB. CV Livbar pun diminta PT USB untuk mengerjakan dua dari 11 unit huntara yang semula menjadi bagiannya. Tawaran PT USB itu diterima CV Livbar. “Tanpa dokumen kontrak. Hanya modal percaya,” kata Yuli, koordinator proyek CV Livbar pada Harian Mercusuar, pertengahan Agustus.

Namun, tak semua pemborong di bawah Zulkifli yang bisa terus bekerja dengan modal sendiri. Setelah sekitar sebulan proyek itu berjalan, ada beberapa kontraktor yang mundur.

“Ada yang baru mendirikan tiang langsung berhenti karena tidak kuat modal untuk membeli bahan material,” kata Yuli. “Penyebabnya karena kami tidak diberi uang muka. Kami mengerjakannya dengan menggunakan uang pribadi dulu. Makanya sempat terbengkalai pekerjaan huntara di Mamboro sekitar sebulan lebih,” kata Yuli.

Celakanya, setelah pekerjaan selesai, pembayaran tak kunjung cair.

Lalu, pada Mei 2019, ia mendapat kabar dari kontraktor lainnya yang mengatakan mereka sudah mendapat bayaran. Kabar itu membuat Yuli gelisah. Pekerjaannya sudah selesai hampir enam bulan, tetapi belum juga dibayar.

Ia berusaha menanyakan soal ini ke Direktur PT USB, Desiana Parura. Hasilnya: nol besar. Saat itulah Yuli semakin gelisah. Seperti diceritakan di atas, Yuli pun menggelar aksi penyegelan huntara yang dibangunnya pada 16 Mei dan sekali lagi, Dedi Kristian juga melakukannya pada 28 Juni 2019.

Penyegelan itu mengusik PT PP dan Kementerian PUPR. PT PP berjanji akan segera membayarkan pekerjaan huntara itu. Namun antara PT PP dan PT USB terjadi silang pendapat. “PT USB menginginkan pembayaran melalui mereka, bukan langsung dari PT PP,” kata Yuli. “Tetapi lima hari kemudian memang sudah dibayar lunas langsung melalui PT PP,” dia menambahkan.

Berapa CV Livbar dibayar untuk proyek ini? Yuli menjawab besarnya sama dengan yang diterima Zulkifli, Rp 375 juta. Memang, dalam dokumen surat perintah kerja yang dipegang Mercusuar, Zulkifli menerima surat perintah kerja bernomor 002/SPKS/XII/2018 pada 26 November 2018, dengan nilai kontrak Rp 375 juta per unit.

Padahal, dalam dokumen kontrak PT PP dengan PT USB bernomor 021/SPK/PPG2-HUNTARA/XI18 tertanggal 20 November 2018, tertera bahwa nilai kontrak per unit sebesar Rp 450 juta, sama seperti nilai kontrak Kementerian PUPR ke PT PP. Anggaran ini terbagi atas biaya pembangunan per unit huntara sekitar Rp 409 juta dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen atau Rp 40,9 juta.

Bagian Administrasi dan Keuangan PT PP, Dartono yang dihubungi per telepon di Balikpapan, Senin, 16 September 2019 membenarkan soal SPK PT PP ke PT USB itu. “Tetapi kalau nilai kontrak dari PT USB ke kontraktor lokal yang kami sebut mandor atau pekerja yang lain kami tidak tahu, itu tergantung skop pekerjaannya,” katanya. 

Namun, mengacu pada nilai kontrak PT USB untuk Zulkifli di SPK dan pengakuan Yuli, dalam pembangunan 11 unit Huntara Mamboro itu ada pengurangan sekitar Rp 374 juta atau Rp 825 juta sebelum dipotong pajak pertambahan nilai dari anggaran awal. Apakah ini wajar?

Soal wajar atau tidak, menurut Setya, tergantung berapa selisihnya. “Tolong dicek apakah nilai kontraknya sampai selisih 300 persen atau tidak,” kata dia. Soalnya, meskipun sebuah perusahaan dibolehkan menyerahkan pekerjaan kepada perusahaan lain dengan tetap mendapat fee, nilainya harus wajar.

Desiana sendiri memastikan perusahaannya tak mengambil banyak keuntungan dari proyek pembangunan huntara. “Nilai kontrak Rp 450 juta per unit huntara itu sudah termasuk PPN 10 persen dan PPH 4 persen. Setelah dikurangi dengan dua jenis pajak itu, nilai satu huntara sekitar Rp 379 juta per unit,” kata dia.

Namun Desiana mengakui pekerjaannya sebenarnya tak boleh disubkontrakkan. Tapi, ketika itu, banyak kontraktor lokal ingin mendapatkan pekerjaan. Dengan pertimbangan alasan kemanusian, menurut Desi, ia pun memberikan jatah proyek untuk dikerjakan. “Mereka itu kan termasuk korban bencana, jadi ya diberilah kesempatan untuk ikut mengerjakan huntara,” ujarnya via telepon, Senin, 9 September 2019.

Desi masih punya pertimbangan lainnya. Situasi pascabencana, ujarnya, membuat bahan material langka dan mahal. Sementara itu perusahaannya dibatasi waktu pengerjaan. “Nah, kalau tidak menggandeng kontraktor lokal, proyek ini bakal tidak selesai sesuai waktunya.”

PT USB pun mengerjakan huntara bermitra dengan sejumlah kontraktor lokal. Head hunternya, itu tadi, Zulkifli.

Zulkifli mengatakan, ia berhubungan dengan PT USB melalui Rudy. Pelaksana PT USB di Palu itu adalah adik tingkatnya di Universitas Tadulako, Palu. Rudy adalah mahasiswa Teknik, dan Zulkifli mahasiswa arsitektur. Dari pertemanan itulah, ia diajak untuk mengerjakan huntara di Mamboro.

Namun ia membantah sebagai orang yang membagi-bagi pekerjaan kepada kontraktor lainnya. Tugasnya, ujarnya, hanya menghubungkan kontraktor lokal dengan PT USB karena mengenal perwakilannya. Ia mengakui ada kontraktor yang ia ajak bergabung, tetapi kontraktor lainnya, katanya, berhubungan langsung dengan PT USB.

Belakangan Zulkifli juga ditunjuk para kontraktor lokal sebagai koordinator subkontrak. Tetapi itu dalam hal penagihan upah pekerjaan. “Saya kebetulan punya jaringan dan sudah sering bekerja sama dengan perusahaan BUMN. Jadi, ketika sudah terlambat dibayar, pekerjaan sudah selesai, kontraktor lokal yang belum terbiasa merasa khawatir tidak dibayar. Apalagi perusahaan itu berdomisili di Jakarta,” katanya per telepon, Senin, 2 September 2019, dari Tolitoli, Sulteng.

Tak jelas apakah kontrak berjenjang itu menjadi sebab buruknya kualitas Huntara Mamboro, seperti dikeluhkan sejumlah penghuninya. Seorang ibu, misalnya, menunjukkan saluran pembuangan di unitnya kepada Mercusuar. Akibatnya air kotor merendam sebagian “halaman” huntara. Baunya cukup menyengat hidung. “Lihat itu Pak, sejak semula sudah begitu. Airnya tergenang dan bau busuk. Cepat sekali rusak. Tidak tahu mau suruh siapa yang perbaiki,” kata ibu yang tinggal di unit 5 itu.

Yang rusak tak hanya saluran air kotor, tapi juga septic tank. Penampung kotoran yang rusak tak hanya di unit 5, tapi juga terdapat di antara unit 1 dan 8. Sedangkan di antara unit 18 dan 19, pipanya bocor. “Kebanyakan septic tank memang sudah buntu. Pipa-pipa pembuangan air juga sudah rusak. Instalasi air sudah banyak yang bocor,” kata Abdul Razak, juga  penghuni huntara Mamboro.

Keadaan di hulu saluran itu juga tak lebih baik. Banyak kamar mandi dan WC  yang pintunya rusak dan saluran airnya tersumbat. “Coba Bapak keliling periksa semua, sudah banyak yang rusak. Di sini saja baru diperbaiki, sudah rusak lagi. Banyak kamar mandi dan WC yang sudah tidak terpakai,” kata Pasialang, penghuni unit 15.

Menurut Pasialang, selain mengalami masalah kamar mandi dan WC, penghuni unit 15 dan 20 yang posisinya berhadapan juga menghadapi masalah penampungan air. Tembok pondasi tiang penyanggah penampungan air di hadapan kedua unit itu sudah berantakan.  “Tiang besinya sudah miring, karena tembok pondasinya sudah terangkat dari tanah. Kami khawatir suatu saat ini bisa roboh,” kata ibu yang mulai termakan usia itu.

Dari pengamatan Mercusuar, di unit 1 dan 5, misalnya, kamar mandi dan WC digenangi air karena salurannya tersumbat. Di unit 2, dari delapan kamar mandi dan WC, dua kamar mandi dan dua WC sudah tidak digunakan karena rusak. Dua daun pintunya sudah tidak ada. Saluran airnya tersumbat. Lantai semennya retak memanjang. Boleh dibilang, tak ada unit yang kamar mandi dan WC-nya bebas dari masalah.

Dengan bersemangat, Pasialang juga memperlihatkan bingkai jendela dan daun pintu bilik huntaranya. Jendelanya sudah tidak bisa tertutup rapat karena sudah bergeser. Demikian pula dengan daun pintunya, tidak bisa lagi ditutup normal seperti semula.

Desi membenarkan adanya beberapa bagian huntara yang bermasalah. Dia mengatakan, pihaknya bahkan sudah enam kali memperbaiki bagian-bagian yang rusak di huntara. Pada April 2019 misalnya, setelah banjir besar di huntara Mamboro memecahkan pipa-pipa saluran air, merusak septic tank, kamar mandi, dan WC rusak. Untuk memperbaikinya, perusahaannya harus merogoh hampir Rp 100 juta. Perbaikan berikutnya di antaranya pada Juli dan Agustus 2019.

Karena tak ingin rugi banyak, Desiana mengatakan perusahaannya sedang mengajukan addendum ke PT PP. “Sekarang masih dalam proses, dan saya yakin bisa dikabulkan. Jadi bukan hanya kontraktor yang resah, kami juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan,” ungkap Desi.      

Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausul atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.

Namun, ketika dihubungi kembali pada Kamis, 19 September 2019, Desiana mengabarkan perusahaannya batal mengajukan addendum ke PT PP. Namun ia menolak menyebutkan alasan.

***

Bukan hanya Huntara Mamboro yang disegel pemborong. Jumat sore, 31 Mei 2019, huntara di Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, juga disegel kontraktor. Penyebabnya sama: karena pekerjaan mereka belum dibayar.

Besaran huntara di Pengawu sama dengan di Mamboro, terdiri dari 20 unit dengan  240 bilik. Setiap unit huntara dilengkapi empat toilet, empat kamar mandi, septic tank, tempat mencuci, dan dapur.

Kementerian PUPR menunjuk kepada PT Adhi Karya untuk membangun Huntara Pengawu. BUMN itu kemudian menyerahkan pekerjaan kepada kontraktor lokal, CV Karya Cemerlang, melalui Surat Perintah Mulai Kerja Sementara (PMKS) No 002/SPMKS/AK-DG-PCR/HUNTARA-PALU/XI/2018 tertanggal 2 November 2018. Perusahaan ini diberi waktu 45 hari hingga 19 Desember 2018 untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Dalam dokumen PMKS itu, CV Karya Cemerlang menerima pekerjaan 20 unit huntara dengan total nilai kontrak Rp 8,36 miliar. Kontrak ini terdiri dari Rp 7,6 miliar untuk huntara dan Rp 760 juta PPN 10%. Dengan demikian harga kontrak satu unit huntara plus PPN sebesar Rp 418 juta per unit. Ini lebih rendah Rp 32 juta per unit dari kontrak Kementerian PUPR ke PT Adhi Karya sebesar Rp 450 juta per unit.

Untuk mengerjakan proyek ini, CV Karya Cemerlang menggandeng kontraktor lokal lain, CV Sinar Tritunggal Jaya.

Direktur CV Karya Cemerlang, Muhammad Jaya, enggan diwawancarai Mercusuar soal proyeknya, termasuk insiden penyegelan yang dilakukan perusahaannya. Melalui sambungan telepon ia memberikan nomor petugas lapangan proyek itu. Namanya Pay.

Menurut Pay, huntara disegel lantaran para pekerja mendesak meminta upah mereka yang terlambat enam bulan. Apalagi, waktu itu menjelang Lebaran. Para pemilik toko bangunan yang menyuplai material juga menagih pembayaran material.

Kemudian pihak PT Adhi Karya menjanjikan pencairan upah sebelum Idul Fitri, yang jatuh awal Juni 2019. Tetapi sampai dengan menjelang hari raya, uang belum juga dibayarkan. Kegelisahan pekerja pun semakin memuncak ketika mereka menghubungi PT Adhi Karya. “Kami malah mendapatkan jawaban menyebalkan kalau semua pegawai perusahaan BUMN itu telah memasuki masa cuti kerja,” kata Pay.

PT Adhi Karya juga beralasan belum bisa mencairkan dana karena CV Karya Cemerlang dianggap belum melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Padahal, menurut Pay, selama ini seluruh dokumen dalam pekerjaan itu, disiapkan sendiri oleh pihak PT Adhi Karya. “Kami ini hanya menyiapkan stempel perusahaan dan tanda tangan. Kalau masih ada dokumen yang kurang, nah, salah siapa,” kata Pay.

Sayangnya pihak Adhi Karya melalui penanggung jawab lapangannya, Ardany, tak merespon permintaan Mercusuar untuk diwawancara. Panggilan telepon maupun SMS tidak pernah direspon. 

Dalam pengamatan Mercusuar, kerusakan huntara Pengawu lebih parah dari huntara Mamboro. Di Pengawu, rata-rata plafon di luar maupun di dalam bilik sudah bocor. “Bila hujan, saya harus menadah air dengan ember di dalam kamar. Lihat sana, plafonnya sudah bocor,” kata Yanggong yang mengajak Mercusuar masuk ke dalam biliknya untuk melihat plafon yang bocor, Jumat siang, 23 Agustus 2019.

Ibu bertubuh tambun itu menceritakan, selain plafon di dalam kamarnya bocor, lantai di dalam kamar juga naik turun ketika diinjak. Seperti ada pernya. Bahkan, menurutnya, lantainya itu sudah ada yang jebol, namun diperbaiki sendiri.

Penghuni lainnya, Mutmainah juga mengeluhkan lantai di dalam kamarnya yang “mengeper” seperti di kamar Yanggong. Walhasil, ia tak pernah memasukkan barang-barang yang berat ke dalam kamarnya, karena takut lantai jebol. “Galon air minum saja yang disimpan di dalam kamar terbanting kalau orang di dalam kamar berjalan,” katanya.

“Rata-rata keluhan penghuni huntara di sini, plafon di dalam kamar sudah bocor. Kemudian lantai kamar sudah mengeper kalau diinjak. Kamar mandi dan WC juga sudah banyak yang rusak tidak difungsikan. Apalagi, kran-kran air juga cepat rusak. Saluran air juga tersumbat,” kata Emy.

Beruntung ada sumber air di belakang kantor kelurahan yang tak jauh dari huntara. Penghuni pun bisa mengambil air di belakang kantor kelurahan karena kran air tak bisa dipakai.

“Makanya bapak jangan heran kalau melihat penghuni di sini banyak yang memiliki selang. Itulah yang digunakan mengambil air di belakang kantor kelurahan untuk dialirkan ke kamar mandi atau ke dapur untuk memasak dan mencuci,” katanya.

Bukan cuma saluran air yang bermasalah, kata Mutmainah, tapi juga septic tank. Penampungan tinja di dekat unitnya itu terlihat berlubang besar. Untuk menyiasatinya, lubang yang menganga ditutupi dengan papan. Kerusakan serupa juga terlihat di septic tank yang berada di dekat bilik Ulfa. 

Baunya bukan main.

***

Berita terkait