Oleh: Andono Wibisono (praktisi media)
Saya yakin semua menyimak runut perkembangan bom wabah virus korona di dunia. Mulai dari sejak Wuhan China hingga negara penyimak yang terpapar. Segenap kontroversi dan polemik tak luput tercatat rapi di masing – masing nalar.
Pandemi korona bila kita flash back horor informasi tak jauh beda ketika ihwal munculnya virus HIV AIDS tahun 80-an di jagad raya ini. Hingga kini pun, virus ini belum ada temuan klinis dan medis penangkalnya. Intinya hanya hidup sehat tak sex bebas mencegahnya.
Korona sebagai virus memang pandemi yang muncul di tengah era digital dan informasi yang melebihi kecepatan cahaya, ibaratnya. Detik ini terjadi di Wuhan, detik berikutnya terkabar di beranda alat komunikasi kita. Cepat, bahkan bila sabar menit berikutnya akan rijit mudahnya dibaca di situs situs online internasional.
Tak kurang dari tiga bulan, puncak tranding virus korona mulai kehilangan supremasinya. Seiring dengan aneka ragam kejadian dan fakta serta dugaan yang terjadi. Mancanegara dengan sendirinya menemukan kulminasi informasi. Perlahan dan pasti kurva informasi seiring dengan menurunnya korban dan pasien positif yang sembuh.
Walau nalar akal tak dapat mudah menerima. Virus ini belum ada obatnya, tapi ribuan pasien di belahan dunia dapat sembuh. Ajaib, kata teman saya. Tak kita temukan bagi pasien yang divonis tertular HIV/AIDS. Pertanyaannya, benarkah korona itu virus berbahaya yang menakutkan?
Pasca tiga bulan, dunia kacau dibuatnya. Ekonomi global melorot tajam. Kehidupan sosial dibuat terjun bebas asosial dengan jaga jarak. Baik jarak fisik dengan jarak komunikasi. IMF saja cash flownya hampir 50 persen hilang.
Sejumlah pejabat dan raja di dunia ketakutan. Ada yang ngungsi ke pulau, ada yang sembunyi di bunker takut terpapar. Alam bawah sadarnya sebenarnya telah terpapar informasi maha dasyat media soal korona. Tak bisa berfikir bahkan bernalar dengan sehat.
Kini hiruk pikuk korona melandai. Kurva informasinya juga menurun. Sejumlah media kini berganti key word ‘new normal’ bahkan masih ada yang menyiapkan isu baru soal kerentanan anak didik sekolah yang harus dipaksakan kembali belajar di sekolah. Macam macam analisis. Tetap baunya horor.
Di lain pihak, ekonomi harus kembali bangkit bila kita tak mau mati karena dibius ketakutan korona. Kita harus melawan dengan strategi baru. Yaitu kembali bekerja dengan cara hidup sehat. Cuci tangan, gunakan masker dan menjaga jarak sosial. Ini kampanyenya sekarang. Seiring permintaan produk alat ukur suhu badan, alat tes mengukur reaktif dan non reaktif virus (tak hanya virus korona) serta alat deteksi virus korona (positif dan negatif) PCR menurun.
Budaya baru atau kehidupan baru ‘new normal’ melahirkan aturan baru. Semua aktifitas pergerakan manusia new normal harus dibuktikan dengan ‘SIM Sehat’ Kini sudah diawali ketika menggunakan transportasi.
Jangan kaget nanti bila akan masuk sekolah harus pegang SIM Sehat. Mau Nikah harus urus SIM Sehat. Mau ketemu relasi bisnis harus pegang SIM Sehat, mau nonton pertunjukkan budaya, sepak bola, sirkus dan bahkan ikut ajang politik. Harus sehat alias non reaktif virus bahkan lulus PCR. Inikah New Normal?
Padahal sampai hari ini nalar kita belum dapat memecahkan atau mendapat jawaban ‘mising link’ mengapa bila virus ini sangat berbahaya dan mematikan secara medis, tapi kok ada yang bisa sembuh sendiri? Saya katakan sembuh sendiri karena hingga saya menulis belum ada satu orang dokter pun mengatakan depan publik obat yang diberikan ke pasien covid berhasil sembuh. Belum ada.
Saya sudah memutar tiga rumah sakit rujukan Covid 19 di Kota Palu. Semua jawabannya tak memuaskan. Hanya banyak kosumsi vitamin, hidup sehat, olah raga. Lho? Itukan lazim pola hidup sehat.
Kedua; SIM sehat mau tidak mau atau suka atau tidak suka akan menjadi kebiasan baru yang membutuhkan cost baru. Karena prosedur memperoleh SIM sehat harus mengeluarkan sejumlah uang. Bahkan tarifnya sudah beredar luas. Kalau Rapid di bawah Rp750 ribu. Kalau PCR bisa dua jutaan rupiah.
Gilanya lagi, SIM Sehat masa berlakunya amat singkat. Bayangkan kalau aktifitas kita sangat membutuhkan syarat – syarat itu. Berapa banyak lagi cost yang harus disiapkan. Saya yakin pebisnis UMKM atau pemula atau Menegah akan semaput pingsan cash flownya. Dan akhirnya colap.
Tapi, jalan menuju roma itu ada saja. Di tengah mekanisme dan prosedur pasti akan ada ‘oknum’ Ya jalan tikus. Potong kompas dan sebagainya. Akhirnya akan ada jasa jasa perantara SIM Sehat. Akan ada banyak calo – calo sekedar mempermulus keluarnya SIM Sehat, tanpa harus rapid atau PCR. Cukup bayar tunggu sebentar keluar surat. Lagi – lagi ini prediksi saya saja. Mudah mudahan segera diantisipasi.
Bisnis surat sehat mau tidak mau akan mudah terjadi. Bukankah bisnis itu muncul karena akibat permintaan pasar dan produksi barang yang dibutuhkan. Sederhanha makin banyak permintaan pasar maka makin bernilai produksi barang dan jasa.
Sejak korona virus dan pasien sembuh tanpa obat atau faksin khusus, muncul new normal dengan SIM Sehat dan bakal akan ada calo bisnis tersebut memperjelas kita apa yang sebenarnya terjadi?
***