Ekonomi Negeri, “Bagai Telur Di Ujung Tanduk”, Pilkada 2020 Menjadi Strategis

  • Whatsapp
Fto: Hasanuddin Atjo/ist

Oleh: Hasanuddin Atjo

Ketua LSPIKANI Sulawesi Tengah

Perjalanan Makassar ke Batulicin harus melalui kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan dan kemudian menyebrang menggunakan speed boat memotong selat kurang lebih satu jam , tiba di Batulicin ibukota kabupaten Tanah Bumbu.  Itupun  flight  Wings Air IW 1393 sempat digeser dua hari dari Jumat 17 Juli ke  hari Minggu 19 Juli 2020. 

Sebelum pandemic Covid-19, ada penerbangan terkoneksi dari Palu-Makassar-Batulicin di setiap hari dengan waktu tempuh sekitar 4 jam telah tiba di Batulicin.  Saat ini, di masa pandemic Covid-19 waktu yang diperlukan paling sedikit dua hari, dan  empat hari pergi-pulang bahkan bisa lebih bila ada cancel atau pembatalan penerbangan. Ini satu gambaran proses New Normal dalam situasi pandemic Covid-19.

Menunggu sekitar 3 jam di Bandara Internasional  Sultan Hasanuddin Makassar sebelum ke Kotabaru, saya  mengamati  kondisi ruang tunggu bandara yang juga masih agak sepi, namun mulai ramai dibanding  bulan sebelumnya.  Seperti biasa mencari referensi dan informasi melalui android, tentang  sutuasi dan kindisi Covid -19 serta  dampaknya  yang tujuannya untuk menambah bagasi pikiran disaat menulis artikel dalam  penerbangan nantinya.  Tepat pukul 12.30 Wita pesawat take off dengan  seat yang terisi sebanyak 16  seat dari 72 seat tersedia.

Pandemic Covid-19 secara global dampaknya makin mengkuatirkan. Bukan hanya ancaman nyawa, kini mulai menggerogoti sendi-sendi ekonomi mulai skala mikro hingga skala besar. Dan ini diindikasikan  dengan tutupnya, bahkan pailitnya  sejumlah sektor usaha, dan makin  besarnya gelombang  pemutusan hubungan kerja, alias PHK yang kemudian berdampak terhadap bertambahnya kemiskinan maupun pengangguran.

Per tanggal 18 Juli di tahun 2020, jumlah  yang terkonfirnasi positif Covid-19  di Indonesia sebanyak 84.882  orang, dari  jumlah sampel 697.043.  Dan jumlah ini membuat kita harus lebih waspada karena kasusnya telah melampaui China yang kasusnya 83.644 dari sampel terperiksa sebesar 1,2 juta orang.

Selain itu  penduduk China hampir lima kali penduduk Indonesia yaitu sekitar 1,38 milyar jiwa.   Di China sampel  yang  diperiksa per 1 juta populasi sekitar  62.814 test (6,28 persen), sementara Indonesia dari penduduk 0,265 milyar, per 1 juta populasi, baru mampu  diperiksa sekitar 4.389 sampel atau (0,439 persen).

Dampak pada sektor ekonomi oleh  pandemic Covid-19 telah membuat hampir semua orang jadi ketar-kitir. Pasalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia  pada triwulan pertama  2020  hanya 2,97 persen, hampir separuh dari pertumbuhan triwulan pertama 2019 yaitu 5,07 persen. Kemudian di triwulan kedua yaitu di bulan  April, Mei,  Juni 2020 lebih memprihatinkan karena diprediksi akan tumbuh minus (- 3,5) persen, jauh dibawah prediksi.  Karena itu Menteri Sri Mulyani, sudah memberi warning bahwa kinerja  ekonomi Indonesia tahun 2020  ditentukan capaian pertumbuhan ekonomii di triwulan ketiga. 

Pertumbuhan ekonomi triwulan tiga harus positif, sebab jikalau negatif maka pertumbuhan ekonomi pada triwulan empat juga akan semakin sulit dan sangat mungkin tumbuh negatif. Dan secara agregat maka ekonomi  Indonesia di tahun 2020 akan tumbuh negatif dan sangat berbahaya karena Indonesia akan terperosok ke “jurang krisis” yang lebih dalam. Persoalan lain yang membuat kita kuatir, dikarenakan cadangan devisa  terbatas dan tidak sebaik dengan negara lain. Dan pendapatan per kapita negeri ini di tahun 2919 belum begitu baik hanya 4000 ribu US dollar/tahun. Sedangkan Thailand. 8.200 US, dan Malaysia 12.000 US dollar, serta Singapura 63.000  US dollar.

Kinerja dari penanganan pandemic Covid-19 dinilai sejumlah kalangan masih lemah dan telah ditunjukkan oleh tingkat penularan yang tinggi melebihi China.  Kondisi dan situasi  ini membuat Presiden Joko Widodo sempat “marah besar” dihadapan jajaran kabinetnya pada saat rapat terbatas pada beberapa waktu lalu.  Mahalnya biaya tapid test maupun swab, rendahnya penyerapan dana penanggulan Covid-19 juga telah menjadi catatan.  Kini biaya rapid test turun drastis menjadi 150 ribu dari sebelumnya sampai 500 ribu.  Bahkan sejumlah maskapai telah menggratiskan biaya rapid test.  Selain itu masa berlaku hasil rapid maupun swab menjadi 14 hari dari sebelumnya 3 hari. Perubahan ini dinilai  sejumlah kalangan positif dan terlihat memicu meningkatkan jumlah orang yang menggunakan jasa angkutan udara,laut dan darat. Dan kita semua berharap upaya ini  bisa memicu pertumbuhan ekonomi ke arah positif di triwulan tiga.

Presiden Jokowi  terus memberikan motivasi kepada para pembatunya, termasuk keoada seluruh kepala daerahnya, agar bahu membahu dan terus bersemangat  “melawan” pandemic Covid-19 dan dampak yang ditimbulkan.  Di hari Rabu, tanggal 15 Juli  2020,  Presiden Joko Widodo , bertempat di Istana Negara dihadapan para gubernur mengatakan sutuasi dan kondisi ekonomi Indonesia “mengerikan”.  Harapan kita di kuartal tiga kiranya ekonomi kita tidak tumbuh negatif. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh belanja Pemerintah yang tersisa di tahun 2020. Harus “gas poll” tapi remnya juga yang pakem agar tidak kebablasan.

Sinyal ini telah ditangkap Menteri dalam negeri, Tito Karnavian dan melakukan road show ke sejumlah daerah untuk melihat kesiapan daerah menyelenggarakan Pilkada serentak tahun 2020.  Dari hasil road show, baru satu daerah yang dinilai  siap  menyelenggarakan Pilkada dilihat dari kondisi fiskal dan keamanan. Boleh jadi Pilkada 2020  ditunda  kalau dipandang pelaksanaannya justru membuat ekonomi pada triwulan tiga dan empat tumbuh negatif.

Karena itu, Pertama bahwa Pilkada serentak dalam kondisi pandemic Covid-19  menjadi sangat penting dan strategis. Tidak lagi sekedar eforia mengusung calon untuk kemudian menang, tetapi harus lebih prihatin dan berpihak bagi kepentingan yang lebih besar yaitu tidak terperosok jauh ke “jurang krisis ekonomi”. Penyelenggara Pilkada mampu  menciptakan iklim yang kondusif agar  konflik sosial yang biasa  terjadi,  karena berbeda kepentingan.dapat diminimalkan.

Sinyalemen bahwa  Pilkada 2020 aka ditunda, bisa saja menjadi kenyataan bila dinilai bahwa  banyak daerah yang belum siap menciptakan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan Pilkada.

Kedua, pemberlakuan New Normal di era Pandemic Covid-19 memberi indikasi bahwa bisnis dengan cara konvensional sudah ketinggalan dan digantikan cara digitalisasi. Demikian pula dengan tatakelola penyelenggaraan pemerintahan.

Ini menjadi persoalan baru karena sebagian besar angkatan kerja di sektor UMKM serta di birokrasi masih berada dibawah pengaruh cara kerja  konvensional.

Ketiga, tantangan ke depan akibat pandemic Covid-19  semakin berat dan dibutuhkan figur pemimpin tidak sekedar populer apalagi oleh skenario pencitraan.  Saatnya butuh figur yang populer karena berkualitas dan didorong oleh satu skenario pencitraan yang akademic tidak lagi dengan cara memanjakan masyarakat.  Saatnya tanggalkan semua kepentingan kelompok demi kepentingan  masyarakat serta keselamatan negara. 

Kondisi perekenomian benar-benar sudah krisis, bagaikan telur di ujung tanduk. Salah skenario, salah gerak maka tidak dapat terelakkan telur akan jatuh dan pecah.  Semua ini kembali berpulang kepada pemilik hak usung dan pemilik hak suara untuk melahirkan figur pemimpin yang populer karena kualitas yang ditopang satu skenario pencitraan yang akademic, agar bisa keluar dari tekanan naupun dampak dari pandemic Covid-19.  SEMOGA. ***

Berita terkait