Muda, pernah di struktur pengurus pusat partai politik. Teruji selama duet dengan Wali Kota Hidayat loyal dan dapat bekerja sama.
Kini, dinamika politik lima tahunan, peran dan kiprahnya mulai mewarnai Sulawesi Tengah. Politik lokal era virtual diyakini banyak pihak menguntungkan kepopulerannya. Bahkan, karena popularitasnya, dalam dua pekan frontstage (panggung depan) dramaturgi sarat diisi figurnya.
Soal Pasha mulai sering gunakan peci atau songkok merah. Jaget merah ditafsir bahwa akan diusung PDI-P. Beredarnya foto – foto dengan Sekjen PDIP Hasto makin menambah ‘garam dan micin’ analisis warga Sulteng.
Pasha, mewakili entitas generasi 4.0 dari etalase politik kekinian Sulteng. Setidaknya, figurnya menjawab bahwa Sulteng memiliki sumber daya manusia yang cukup baik.
Benarkah frontstage itu linier dengan backstage? Yang saya pahami bahwa teori dramaturgi komunikasi sangat jelas terminologi asumsi, esensi dan konsep. Bagaimana dengan politik? Sulit asumsi menjadi linier satu sama lain. Singkatnya panggung depan bukanlah esensi dari panggung belakang. Bisa satu esensi, bila konsepnya linier.
Kembali ke Pasha, bahwa dramatisme popularitasnya saat ini menjadi dramatisme dari interaksi politik mutakhir di Pilgub Sulteng. Pasha factor belum pemilihan saja mampu meredupkan kans politik penantangnya. Mengapa? Sekali lagi dalam pendekatan dramaturgi dirinya mampu mengisi dengan tuntas panggung depan sirkulasi politik yang dinamis.
Sebagai praktisi media, dinamika politik Sulteng kali ini saya nilai sangat maju ketimbang sebelumnya. Artinya, Sulteng memiliki sumber daya politik luar biasa. Peran tokoh politik lainnya sekelas Longki Djanggola, Akhmad H Ali, Arus Abd Karim, Rusdi Mastura dan lainnya adalah lokomotif sehingga mendinamisir interaksi politik saat ini.
Sangatlah merugi bila interaksi politik yang dinamis, belum menjadi asupan politik yang bergizi bagi kepentingan 1,9 juta masyarakat Sulteng.
Mari kita terus Menyimak Perkembangan demi perkembangan masa kini… ***
(penulis adalah praktisi media sejak 1997)