SETAHUN Sekali dirayakan umat Islam dunia. Bahkan, 93 persen rakyat Indonesia. Dua tahun terakhir, karena pandemi ada kegiatan terkait lebaran dibatasi, bahkan dilarang. Tapi, di sisi lain masih terkait aspek ekonomi menjelang dan memperingati Idul Fitri justru paradok. Dianjurkan.
Idul Fitri mencakup beberapa aspek. Ada aspek ritual, aspek suka cita, aspek budaya dan aspek ekonomi. Pada aspek ritual ada namanya membayar zakat dan solat Ied. Sedang aspek budaya adalah kebiasaan mudik atau pulang kampung (Pulkam) bagi perantau. Sementara aspek ekonomi yaitu setiap lebaran sandang, pangan dan papan akan dihiasi. Baju baru, rumah dihiasi dan menyediakan santapan lezat baik ketupat, burasa ataupun mandura. Termasuk aspek suka cita; yaitu pawai takbir, ke tempat – tempat wisata setelah lebaran dan lainnya. Ekonomi berputar. Masyarakat muslim mengeluarkan zakat dan berbelanja.
Menariknya, mengapa hanya aspek – aspek tertentu yang dikuatirkan pemerintah akan berpotensi kerumunan dan penularan covid 19. Baik mudik, solat Ied dan takbiran keliling? Mengapa aspek ekonomi seperti belanja di Mal – mal, pasar yang kerumunananya sangat potensial penularan korona tak ada pelarangan? Pembatasan pun tak tertib.
DI PALU
Idul Fitri di Palu juga sebagian besar menjalankan kebijakan pemerintah RI. Menutup perbatasan wilayah dan pembatasan aktifitas idul fitri. Melarang solat Idul Fitri di lapangan dan membolehkan di masjid justru memicu polemik.
Padahal, lapangan justru risiko penularan kecil bila dilakukan jaga jarak. Kok malah dilarang? Justru masjid yang kapasitasnya bisa terukur malah dibatasi. Padahal sebaiknya masjid dibatasi tapi lapangan dibuka sebanyak banyaknya sehingga masyarakat memiliki kesempatan memilih dan tidak berkerumun dalam satu titik.
Kedua; aspek ekonomi seperti kerumunan di mal, tempat – tempat belanja dan pasar terkesan pemerintah hanya tahap sosialisasi masker dan jaga jarak. Padahal, sosialisasi telah di kerumunan jelang idul fitri. Memangnya akan ada kerumunan di mal setelah idul fitri? Di sini yang menurut penulis Pemkot amat sangat tidak memahami beberapa aspek potensi covid 19.
Belum lagi nanti aspek wisata pasca lebaran. Apakah iya Pemkot masih akan konsisten menjaga jarak, menggunakan masker dan pembatasan pengunjung sebuah lokasi wisata? Sebagaimana membatasi solat di masjid dengan 50 persen? Bagaimana Pak Wali?
Oleh : andono wibisono (praktisi media)