Syahlan menjelaskan, jika berdasarkan bukti dari keterangan ahli yang membenarkan pengakuan korban, ia menilai benar tidaknya keterangan seseorang bisa diuji melalui alat pendeteksi lie detector.
“Sampai hari ini kami mempertanyakan alat bukti apa yang menyebabkan klien kami menjadi tersangka. Tidak ada bukti kecuali melalui lie detector, tetapi ini tidak bisa digunakan kepada anak. Silahkan tanya saksi dan santri, mereka tidak pernah melihat ada kejadian seperti yang dituduhkan,” jalasnya pada Rabu (21/6/2023).
Bersama anggota keluarga tersangka dan santri, Syahlan menyatakan bahwa lokasi kejadian bukan pesantren, melainkan rumah tahfidz.
Rumah tahfidz ini awalnya beroperasi di wilayah Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Namun karena terdampak banjir beberapa waktu lalu, aktivitas pengajian dialihkan di Kelurahan Buluri, Kota Palu.
“Pada 5 Januari 2023, saksi atau korban ini datang ke ustaz AA meminta untuk belajar di tempat pegajiannya klien kami. Jadi ini bukan pesantren, apalagi dibilang ilegal. Tempat pengajian ini tahfidz,” tuturnya.