Oleh : Hamzinah, S.I.Pust (Pustakawan & Pegiat Media Sosial)
AKTIVITAS Tambang ilegal banyak meresahkan dan merugikan negara. Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun akibat tambang ilegal. Hal itu disampaikan dalam sambutannya saat penyerahan smelter rampasan kasus korupsi pengelolaan timah di kawasan smelter PT Tinindo Internusa yang terletak di wilayah Pangkalpinang, Bangka Belitung.(detik.com, 06-10-2025).
Prabowo memberikan apresiasi kepada aparat penegak hukum yang telah bergerak menyelamatkan aset negara dari praktik tambang ilegal. Saat ini terdapat 1.063 tambang ilegal. Prabowo bertekad bersama pemerintah untuk membasmi penyelundupan, membasmi illegal mining, membasmi semua yang melanggar hukum. Ke depannya akan berupaya menyelamatkan kekayaan negara untuk rakyat.
Salah Kelola Tambang
Sejatinya, kerugian besar dari salah kelola tambang bukan hanya aspek keuangan saja, tetapi juga kerusakan lingkungan. Dampaknya memicu bencana alam seperti banjir, longsor, juga pencemaran air tanah dan permukaan. Selain itu, pada tambang ilegal juga rawan terjadi kecelakaan dan berbagai konflik warga, khususnya bagi para penambang.
Selama ini banyak tambang ilegal yang selalu gagal dieksekusi secara hukum dengan berbagai alasan. Negara bisa jadi sudah mengetahui datanya, tetapi selalu menciut nyalinya jika berhadapan dengan lingkaran kekuasaan. Masalah tambang, baik legal maupun ilegal, sejatinya tidak bisa lepas dari sistem yang mengatur kepemilikan terhadap barang tambang. Selama barang tambang dianggap sebagai barang bebas yang boleh dimiliki oleh siapa saja yang bermodal, maka salah kelola tambang akan selalu menjadi masalah.
Kebebasan kepemilikan yang lahir dari sistem kapitalisme inilah yang menjadi biang kerok salah kelola tambang. Dari sini muncullah liberalisasi tambang. Konsekuensinya, pengelolaan tambang tidak lagi menjadi kewajiban negara, namun diserahkan kepada individu, swasta, bahkan asing atas nama investasi negara.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengelolaan tambang bukan untuk kemaslahatan umat, tetapi untuk bisnismencari keuntungan sebesar-besarnya, baik pada tambang legal maupun ilegal. Dampaknya, para pemodal semakin kaya, sedangkan rakyat semakin sengsara.
Alih Kelola Tambang, Solusi Parsial
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, khususnya Pasal 17 Ayat 4 Huruf a PP Nomor 39/2025, pemerintah resmi membuka peluang bagi koperasi, ormas, hingga UMKM untuk mengelola wilayah usaha pertambangan. Dilansir dari esdm.go.id (09-10-2025), ada sekitar 45 ribu sumur yang telah diinventarisasi Kementerian ESDM dan nantinya akan dikelola oleh masyarakat melalui lembaga tersebut.
Hal ini dianggap sebagai solusi agar rakyat secara langsung bisa mengelola tambang. Dengan adanya regulasi, diharapkan tidak ada lagi tambang ilegal. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat serta mendorong pemerataan ekonomi.
Namun, jika dicermati lebih dalam, alih tata kelola tambang dengan melibatkan rakyat melalui koperasi, UMKM, BUMD, atau ormas merupakan solusi parsial. Pasalnya, lembaga-lembaga tersebut belum tentu memiliki kapasitas memadai untuk menghadapi kompleksitas aktivitas pertambangan. Ini juga membuka celah masuknya pihak ketiga dalam pengelolaan tambang, siapa lagi jika bukan para pemodal besar, karena mengelola tambang membutuhkan dana besar.
Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies(CELIOS), Muhamad Saleh, menilai koperasi dan UMKM belum tentu siap menghadapi kompleksitas tambang, baik dari sisi modal, pengawasan lingkungan, maupun pertanggungjawaban hukumnya. Hal serupa juga disampaikan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Al-FarhatKasman. Menurutnya, industri pertambangan merupakan industri yang padat modal dan teknologi. Jika regulasinya longgar, risikonya akan sangat tinggi. Celah ini bisa dengan mudah disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui skema “pinjam bendera” atau bahkan menjadi beban negara saat terjadi kerusakan lingkungan (Tirto.id, 09-10-2025).
Tata Kelola Tambang dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas termasuk dalam kategori milkiyyah ‘ammahatau kepemilikan umum. Kekayaan alam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dimanfaatkan seluruh rakyat tidak boleh dimiliki oleh individu, kelompok tertentu, swasta, apalagi asing. Rasulullah SAW. bersabda: “Kaum Muslim berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab Nizhom al-Iqtishodi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) menjelaskan bahwa SDA (Sumber Daya Alam) berupa tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu SDA tambang yang jumlahnya terbatas, yang tidak banyak menurut ukuran individu. Dan SDA tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
SDA tambang yang terbatas jumlahnya boleh dimiliki secara pribadi. Terhadap SDA tersebut diberlakukan hukum rikaz, di dalamnya terdapat seperlima (1/5) bagian harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang ada di jalan yang dilalui atau kampung yang ditinggali, maka umumkan selama setahun. Jika datang orang yang mencarinya maka serahkan kepada dia. Jika tidak ada yang datang maka itu untuk mu. Apa yang di reruntuhan, maka di dalamnya dan di dalam rikaz ada khumus (seperlima dari harta temuan untuk dizakatkan).” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan untuk SDA tambang yang jumlahnya tidak terbatas, yang tidak mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. “Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah SAW. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul SAW. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, ‘Apakah anda tahu apa yang anda berikan kepada dia? Tidak lain anda memberi dia air yang terus mengalir.’ Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata, ‘Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal).’” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Sistem politik dan ekonomi Islam berperan untuk menjamin SDA tambang agar dapat dikelola sesuai syariat. Pengelolaan SDA tambang adalah tanggungjawab negara. Tambang besar (depositnya melimpah) dikelola negara, sedangkan tambang yang kecil (depositnya sedikit) tetap boleh dikelola rakyat. Namun, semuanya tetap dalam tanggungjawab negara, termasuk pada aspek penanggulangan dampaknya terhadap lingkungan.
Pada SDA tambang yang depositnya melimpah, negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama kaum muslim dan menyimpan hasil penjualannya di baitul mal kaum muslim. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi) dan yang ada di dalam perut bumi. Negara Islam juga akan memperhatikan agar mekanisme pengelolaan SDA tambang tidak berdampak buruk pada lingkungan.
Ini adalah wujud negara yang berperan sebagai pengurus rakyat dan bertanggungjawab terhadap rakyat. Mekanisme eksplorasi SDA tambang dilakukan berdasarkan dalil-dalil syara’ yang akan direalisasikan oleh negara Islam sebagai sistem pelaksana syariat Islam Kaffah.
Wallahu a’lam bish shawwab







