editor : redaksi | sumber : berbagai media
SATU POHON DAPAT MENGHASILKAN RIBUAN KOREK API. TAPI, SATU BATANG KOREK API DAPAT MEMBAKAR JUTAAN POHON DI HUTAN….
SEBUAH Peribahasa sarat makna. Hal hal kecil yang positif akan memiliki makna spektakuler memengaruhi hal – hal buruk di sekitar. Satu pikiran negatif, memiliki daya rusak sangat besar bagi pikiran pikiran positif.
KEMARAHAN Anwar Hafid, sang gubernur akibat satu pohon ditebang depan pagar rumah jabatan (Rujab) gubernuran Siranindi Jalan Juanda Palu membias ke sepak terjang sang gubernur yang kena tengara mengobral izin tambang kala ‘berkuasa di Morowali’ menjadi bupati 10 tahun.
Media menulis ‘Anwar Murka’ Pagi ini, 22 Desember 2025 sejumlah media online menulis ‘Anomali Anwar; Satu Pohon dan Obral Izin Tambang 10 Tahun di Morowali’
Dikutip dari lengaru.id id pernyataan Koordinator Jatam Sulteng Moh Taufik bahwa sebenarnya kemarahan Anwar Hafid baru seputar lingkungan ‘rumah jabatan’ belaka. Bukan kemarahan yang idiologis terkait rusaknya hutan Morowali akibat obral izin tambang selama 10 tahun berkuasa.
‘’Kemarahan itu arahkan juga pada pembabatan hutan. Penebangan pohon skala besar jelas-jelas berpotensi menimbulkan bencana,” ungkap Taufik, Minggu (21/12) tulis lengaru.id
Jatam menyebut ‘kemarahan Anwar hanya narasi kosong’ Ibarat perusahaan ekstraktif yang menjalankan strategi komunikasi berupa greenwashing. Komitmen semu terhadap lingkungan guna mengaburkan jejak kerusakan yang jauh lebih besar.
LUKA HUTAN DI MOROWALI
Tangkapan citra satelit seolah memukul balik Anwar yang kini meradang gegara satu pohon. Selama kepemimpinannya (2007–2018). Merujuk data Global Forest Watch, Morowali kehilangan 100 ribu hektare tutupan pohon—setara 140 ribu lapangan sepak bola.
Yang lebih memprihatinkan, 58 ribu hektare dari total kehilangan itu merupakan hutan primer basah yang mustahil pulih cepat. Angka ini tidaklah kecil. Cakupannya hampir 1,5 kali lipat luas wilayah Kota Palu.
Selaras dengan itu, catatan Auriga Nusantara menunjukkan laju deforestasi di Morowali pada periode yang sama mencapai 16.035 hektare. Hingga tahun 2024, hutan alam di Bumi Tepe Asa Maroso tersisa 341.461 hektare.
Korelasi antara lenyapnya hutan dengan derasnya arus perizinan tambang—terutama nikel—oleh Anwar Hafid di masa jabatannya dahulu pun tampak nyata, demikian narasi media Lengaru.id mengulas. Beberapa media online pun menulis hal sama bersamaan.
Jaringan Advokasi Tambang itu, terdapat lonjakan signifikan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) pada era Anwar Hafid; dari semula 120 IUP menjadi 183 IUP.
Sebagai bupati Morowali kala itu, Anwar punya kendali penuh menerbitkan izin tambang di daerahnya sebelum berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menempatkannya sebagai “raja kecil” atas sumber daya alam. Sebelum kewenangan itu beralih ke provinsi sampai akhirnya berada di tangan pemerintah pusat, karpet merah bagi perusahaan tambang sudah terbentang di Morowali.
Kini, warisan penerbitan izin masa lalu itu membawa konsekuensi yang terus berlanjut. Laporan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada Juli 2025, mengestimasi valuasi ekonomi hutan Morowali per tahun mencapai Rp2,81 triliun andai tidak dirusak tambang nikel.
Angka ini sebenarnya 44,61% lebih tinggi dari realisasi pendapatan daerah Pemkab Morowali tahun 2023 sebesar Rp1,94 triliun. Sayangnya, sekitar Rp1,07 triliun per tahun dari nilai tersebut sudah berada dalam wilayah konsesi dan terancam hilang. Jika ekspansi tambang terus dilakukan, potensi kerugian ekonomi dapat bertambah hingga Rp568 miliar per tahun. ***









