Catatan Pinggir | Kepastian Hukum Jaksa

  • Whatsapp
banner 728x90

OLEH  ; ANDONO WIBISONO
Pada
zaman sekarang, orang mendapatkan teman melalui pemberian pelayanan (service), kebenaran malah
menimbulkan kebencian –Terence
ADANYA
Petikan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) RI, atas diri Ekka Pontoh (EP),
dalam kasus yang menyeretnya menjadi terdakwa dalam Tipikor  mulai menjadi gonjang-ganjing warga Kabupaten
Parigi Moutong. Padahal, pada putusannya, MA RI menjatuhkan hukuman enam tahun
dan denda subsider Rp200 juta lembaga peradilan tertinggi meminta segera tindak
eksekusi dari kejaksaan setempat.

Pada jurnalis, Kepala Kejaksaan Negeri Parmout Jurist
Sitepu mengaku dirinya masih gamang. Mana yang didahulukan, putusan MA atau
putusan PK (peninjauan kembali). Bahkan, sudah sebulan, ia sudah meminta
‘fatwa’ pada Kejati kapan akan mengeksekusi EP, tapi atasannya belum pula
menjawabnya. Ada apa Pak Kajati ?

Alibi Kajari Parmout lagi, gamangnya eksekusi pihaknya
karena ada dua fakta hukum dengan penyidik lainnya (Polisi). Yaitu, ada dugaan
pemalsuan tanda tangan EP oleh orang lain pada surat perintah mencairkan (SPM).
Hingganya, Jurist tidak ingin terjebak pada adagium, yaitu lebih baik
melepaskan 100 orang bersalah, dari pada menghukum satu orang yang tidak
bersalah.

Dari sudut pandang hukum Jurist itu, bakal akan
memunculkan polemik hukum baru.  Antara
patuh dan tunduk sebagai pelaksana hukum negara – eksekutor hukum negara
berdasar perintah MA RI, atau beragumentasi dengan fakta hukum lain yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap (incracht). Padahal, fungsi kejaksaan selain
melakukan penuntutan hukum atas negara, juga menegakkan keadilan hukum atas
perintah pengadilan.

Bila perintah MA Republik Indonesia saja masih
diperdebatkan di level penegak hukum, lantas pada siapa lagi harapan akan
tegaknya hukum di republik ini disematkan? Bukankah putusan Kasasi MA RI adalah
sebuah produk hukum yang tetap, terakhir dan pasti. Bila ada upaya hukum lain
pasca Kasasi, tentunya sudah jelas dalam UU Hukum Acara Pidana bahwa PK tidak
membatalkan eksekusi. Dari sinilah yang dinilai publik hukum sebuah
kejanaggalan dan akan menjadi preseden buruk penegakan hukum di daerah ini.

Sebaiknya Bapak Kejati Sulteng yang baru segera
menyelesaikan silang sengkarut hukum di daerah ini. Bila tidak,
ketidakpercayaan rakyat Sulteng akan penegakan hukum di daerah ini tak jauh
beda dengan pendahulu-pendahulu bapak. Selamat datang Pak Kajati, tabe….***

Berita terkait