Catatan Pinggir I PASHA, DAN KOMODITI

  • Whatsapp
PASHA,
DAN KOMODITI
Kalau
Anda Mengeritik Orang biasa. Maka, semua juga akan biasa-biasa saja. Tapi bila
Anda berani dan Cerdik Mengeritik Orang Populer, maka Anda pun Ikut
Popularitasnya. – andono wibisono

POLEMIK Wakil Wali Kota, Sigit Purnomo Said (SPS) alias Pasha, dengan Ketua Dewan Kota,
Ikbal Andi Magga kini sudah viral hingga ke level nasional. Sebuah televisi
swasta terbaik, sekelas Kompas TV pun menyiarkan dialog keduanya. Sebelumnya,
beberapa media cetak harian lokal di Sulteng sudah mendahului. Bahkan disusul
dengan memviral ke media sosial (medsos).

Saya tidak ingin masuk ke ‘lorong’ perdebatan kedua tokoh
Palu itu. Karena apapun namanya, pasti penilaiannya subyektif. Saya mencoba
melihat dari sudut pandang dengan menggunakan analisis framing, yang menjadi
panduan seorang jurnalis sekelas redaktur bila memilah dan menganalisis isu-isu
medianya. Ya bisa dikaitkan dengan teori komunikasi politik untuk berita
politik.

Pasha, tidak ada yang menyangkal bahwa dari anak-anak
sampai Oma-oma pasti kenal suara merdunya. Dari Sabang sampai Merauke. Dari
Banggai Laut sampai Buol, pasti kenal siapa penyanyi Ungu band itu. Ya,
popularitasnya begitu besar. Tidak ada satu pun sekarang ini, tokoh politik di
Sulteng yang menyamai popularitasnya. Saya memiliki video-video Pasha saat
kampanye Pilkada 2017 lalu di Buol, dan di Gorontalo.

Saya pun mengumpulkan video-videonya saat HUT Brimob di
Poso. Pasha tampil dengan Syahrini. Di Buol dengan Dewi Persik (DP). Kedua penyanyi
terkenal itu di panggung ngaku tersanjung bisa duet dengan Pasha. Bahkan
Syahrini dipostingan Instagramnya (IG) menyebut sangat bahagia bisa duet dengan
Wali Kota Palu itu. Dan itu diviralkan istri Pasha Adelia.

Kritik dan model pengawasan yang dilakukan Ketua Dekot,
Eki – sapaan akrab Ikbal Andi Magga, dari sudut pandang jurnalisme politik
sangat cerdik dan lihai. Saya tidak ingin membedah materi kritiknya. Sekali
lagi saya takut subyektif. Tapi sebagai politisi, Eki sangat lihai memerankan
talentanya menyeret Pasha pada pusaran ‘mainannya.’

Mengapa Eki menggunakan Pasha sebagai komoditas
politiknya? Eki akhir-akhir ini sering diisukan akan diganti sebagai Ketua
Dekot. Bahkan isu itu menyebut bahwa dirinya akan diganti rekan se fraksinya
Ishak Cae dan lainnya. Secara kalkulatif politis, namanya pasti menurun secara
kualitatif. Karena kalkulasi kuantitatif belum diuji.

Jujur saja, untuk mengambil durasi sebuah televisi swasta
nasional sampai lebih 30 menit tidaklah murah bila hanya untuk menaikkan rating
politik secara landai. Pasti kena cash advetorial atau periklanan. Dan itu bisa
ratusan juta rupiah. Demikian juga untuk menghiasi pemberitaan di halaman satu.
Wuihh, banyak kocek disiapkan. Dan bila hanya kritik biasa butuh waktu dan
materi yang lama.

Eki ingin membuktikan bahwa dirinya politisi yang cerdik,
lihai dan berani melawan derasnya arus kekuasaan. Eki juga selalu ingin
menciptakan opini bahwa dirinya sudah maksimal bekerja dan memperjuangkan
hak-hak masyarakat dan memperjuangkan tegaknya perundang-undangan.

Pasha disodoknya, dan imbasnya bola liar kritik itu turut
menaikkan namanya ke puncak opini publik saat ini. Eki tidak lama lagi akan
diburu para pekerja infotement yang memang menempatkan Pasha sebagai komoditas
liputannya. Pilihan-pilihan kritik pun saat ini dapat dijadikan komoditas
politik tertentu bagi politisi yang cerdik.

“…maafkan
aku sayangku, bukan maksudku menyakitimu,….Pernakah kalu merasa, pernakah kau
merasa…pernahkah kau merasa hatimu hampa….hatimu kosong….’’  cukilan bait lagu Ungu Hampa Hatiku. ***

 OLEH: andono wibisono

Berita terkait