TAHUN 1950-an, suatu ketika Mo ze Tung (pimpinan Komunis China) bertemu dengan Josef Stalin. Dalam obrolannya, Stalin selalu memandang rendah bangsa China. Satu kalimat yang dilontarkan Stalin, ‘’Mengapa anda mau memimpin rakyat begitu besar, lemah dan miskin.’’ Dengan tenang Mo ze Tung menjawab, ‘’Benar. Bangsa kami miskin dan terbanyak penduduknya di dunia sekarang. Suatu ketika, mereka (bangsa China) akan menguasai perekonomian dunia.’’
Kini, terbukti China bagai naga dunia. Kebangkitan ekonomi bangsa China menentukan arah ekonomi dunia. Amerika saja, saat ini negara penghutang terbesar di China disusul negara-negara eropa. Urusan sepak bola, Liga China pun mulai membuat ketar-ketir Liga Inggris, Liga Itali dan lainnya. Sejumlah pemain dunia sekarang mulai banyak merumput di negara rumpun bambu itu.
Kebangkitan ekonomi China dekade terakhir meruntuhkan seluruh sendi-sendi ekonomi bangsa barat dan eropa. Hitung saja, produk elektronik telpon genggam dihancurkan dengan produk HP murah. Blackberry, dan Siemens pun gulung tikar. Belum lagi di industri otomotif. Nyaris, tahun 2000-an, perusahaan perusahaan otomotif Jepang roboh akibat diluncurkannya sejumlah sepeda motor china (Mocin).
Rakyat China sudah banyak mandiri karena kerja kerasnya. Seluruh produk ekonomi mikro mendapat proteksi kebijakan negara secara masif. Sebut saja soal produk-produk elektronik, otomatif tidak lagi menjadi monopoli pengusaha besar. Tapi sudah menjadi home industri masyarakatnya. Misalnya; satu RT membuat casing handphone. RT lain membuat asesoris handphone. RT lainnya pula membuat rangka sepeda motor dan seterusnya.
Kebijakan ekonomi dunia – pasar bebas yang dicetus dan diperjuangkan Barat ternyata lebih siap dihadapi China. Bagai mata pedang menusuk diri sendiri. Kini, sejumlah negara yang beridiologi ‘lawan’ mulai ketakutan menghadapi invasi ekonomi China ke dunia. Bahkan China berambisi akan menguasai Asia Timur dan Tenggara.
Politik ekonomi Indonesia di era kepemimpinan Presiden Jokowi berorientasi ke China bukan karena ‘hasutan’ idiologi belaka. Bukan karena beberapa hoax informasi yang memberi embel-embel kader PKI pada Presiden Jokowi. Tapi, mau tidak mau, suka atau tidak suka perekonomian dunia sekarang bangsa ‘mata cipit’ itu yang menguasai.
Kini, rakyat China telah siap ‘merambah’ dunia lain. Tak terkecuali Indonesia. Kenapa Indonesia? Negara paling kaya di dunia sumber daya alamnnya adalah kita. Apapun yang kita ‘minta’ dengan China pasti digelontorkan. Apapun. Catat pernyataan saya ini. Apakah tulisan saya ini membenarkan (menyetujui) realitas pergerakan ekspansi China ke Indonesia?
Kita tidak akan dapat mencegah tuntutan zaman. Kita pun tidak mungkin terlepas dengan pola kehidupan yang terkadung sudah tertanam menjadi kebutuhan. Hitung saja, ada berapa jumlahnya produk bangsa China di rumah kita? Bisakah kita tidak menggunakannya? Atau menggantinya dengan produk lain? Itu bukan tindakan yang rasional.
Kita wajib tidak melupakan sejarah kolonialisme China di dunia, benar. Traumatik dengan sejarah Tibet dan Anggola adalah pelajaran bijaksana. Tibet yang begitu merdeka sekarang dikuasai China, hingga Dalai Lama harus minta suaka ke negara lain. Demikian juga Anggola. Olehnya, friksi dan faksi perkembangan politik terakhir di Indonesia saat ini akibat ‘pro-kontra’ terkait China mari dibedah dengan bijaksana. Tertangkapnya sejumlah TKA ilegal berpaspor China dengan ciri-ciri badan tegap (seperti tentara) juga patut menjadi renungan.
Era sudah berubah. Dunia sudah kepalang menyepakati pasar bebas. Kita pun ikut bersepakat. Kita pun memiliki jutaan TKI di luar negeri. Kalau mau dibandingkan, kita yang baru 250 juta sudah memiliki TKI. Apalagi China yang miliaran jumlah penduduknya. Pasti akan keluar ke negara lain. Bukankah sudah ‘sunnahtulloh’ setiap manusia akan mencari ladang kehidupannya di manapun berada.
Indonesia harus siap? Tidak cukup. Indonesia harus selalu mawas diri? Juga belum sepenuhnya benar. Indonesia harus bangkit, itu adalah janji Nawacita. Harus diperjuangkan. Harus dikoreksi bila mulai keluar jalur. Harus diingatkan, bukan dihasut. Harus dikritik, bukan difitnah. Seperti amanat Presiden Jokowi kala memberi sambutan di Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan haul Gus Dur, 24 Desember 2016 di Ciganjur. ****
Oleh: andono wibisono