Kasus Penembakan Nelayan Bungku Selatan, Akademisi Unhas Angkat Bicara

  • Whatsapp

MOROWALI,- Peristiwa penembakan terhadap nelayan di Bungku Selatan beberapa hari lalu, mendapat berbagai tanggapan dari beberapa kalangan, salah satunya Kasmudin, seorang Akademisi Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas).

Kepada kailipost.com Ju’mat (05/03/2021), Kasmudin yang juga Ketua Umum Sombori Dive Conservation (SDC Morowali), mengaku sangat sangat terpukul dengan insiden ini. Pasalnya, selama 7 (tujuh) tahun ia bergerak di bidang konservasi pesisir dan laut ini, baru kali kasus seperti ini terjadi di Morowali.

Ia menuturkan, untuk jangan menyamakan antara nelayan dengan pelaku bom ikan, karena keduanya berbeda. “Yang pasti dua hal terpenting yang harus dibedakan masyarakat dalam peristiwa ini adalah, jangan pernah samakan nelayan dengan pelaku bom ikan,” ungkapnya.

Kasmudin mengatakan, bahwa nelayan itu dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, bahkan nelayan hari ini sudah memiliki asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan.

“Sebaliknya kalau pelaku penangkap ikan Deskructif Fishing dan Ilegal Fishing merupakan pelaku bom ikan yang berkedok sebagai nelayan dan bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp2 Miliar,” jelas Kasmudin.

Kasmudin pun merekomendasikan kepada instansi terkait agar turun langsung jika ingin mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya.

“Yang kami ketahui sekarang ini, di seluruh Indonesia masyarakat nelayan juga resah dengan aktivitas para pelaku pengeboman ikan yang marak, jika kita jalan-jalan di Desa Pulau Tiga, disana merupakan Kelompok Kader Konservasi Binaan SDC yang sudah lama di SK-kan khusus oleh Pemda dalam hal ini Pokmaswas, mereka sering mendapati pihak pembom ikan dari luar dan bahkan mereka juga sering mengejar pelaku yang sangat meresahkan, bayangkan saja sekali bom, pelaku mampu memporak-porandakan ekosistem laut, memang sasaran mereka hanya ikan tapi banyak ekosistem terumbu karang, ikan kecil dan bioata lainya turut menjadi korban kemudharatan tersebut,” urainya.

Menurut Akademisi Unhas itu, jika kegiatan ini berkepanjangan akan memutus rantai makanan dan ekosistem laut. Ia mengatakan masa pemulihan akibat kegiatan tersebut bukan hanya 1 sampai 2 tahun, tetapi bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun.

“Menanamnya juga bukan semudah menanam bunga atau pohon, tapi harus memiliki keterampilan khusus, kerusakan ekosistem di laut akibat Descruktif Fishing dan Illegal Fishing bukan hanya negara yang dirugikan oleh para pelaku, tapi tujuh generasi ke depan, anak cucu kita dimungkinkan tidak lagi bisa menikmati hasil laut, yang ada hanyalah kesengsaraan,” jelasnya.

Data yang berhasil dikumpulkan oleh SDC Morowali dari tahun 2015 sampai saat ini lanjut Kasmudin, sudah banyak kasus yang merenggut korban nyawa pelaku bom ikan, bius dan penyelam kompresor.

“Banyak pembinaan yang sering kami lakukan, sampai melakukan program aksi keliling pulau-pulau untuk memberikan pelatihan dan kampanye stop Illegal Fishing dan Destructife Fishing, memberikan solusi terhadap para pelaku bom ikan yang serius ingin kembali menjadi nelayan mencari nafkah dengan cara-cara yang ramah lingkungan, serta nenampung seluruh keluhan masyarakat nelayan untuk diteruskan ke pihak Pemda dalam hal ini Dinas Perikanan untuk segera memberikan bantuan kebutuhan para nelayan” jelasnya.

Ditegaskannya, nelayan pemancing, pukat, tambak, dan lainnya, semua itu adalah usaha mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari, semua bergantung terhadap alam dan rezki dari Maha Pemberi Rezki.

“Olehnya itu, kami dari SDC Morowali mengutuk keras jika ada nelayan yang betul ditembak atau salah tembak dari oknum petugas, namun sebaliknya, kami tidak akan menyalahkan jika memang benar pelaku pengeboman ikan yang terkena tembakan, selama itu masih sesuai dengan SOP, sebab takdir itu mungkin didapatkan karena sudah sering diperingatkan dan diberikan bimbingan namun tetap melakukan pelanggaran mencari nafkah ingin kaya dengan cara singkat dan merusak di area konservasi,” ungkapnya.***

Reporter: Bambang Sumantri

Berita terkait