Menjadi Relawan
Terjun ke dunia kerelawanan di bidang kesehatan mental, Agus kemudian mempelajari bahwa orang dengan gangguan mental termasuk ke dalam ragam disabilitas mental psikososial yang diakui Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).
Tidak hanya diakui ragamnya secara internasional, sambungnya, ia juga lalu mempelajari bahwa orang dengan ragam disabilitas mental psikososial juga punya hak akomodasi layak di lingkungan kerja dan dunia pendidikan. Hak ini juga diakui dalam perundang-undangan Indonesia terkait disabilitas.
“Untuk teman-teman disabilitas mental psikososial yang sudah terdiagnosis, ketika alami masalah di ujian, ada adjusment yang perlu diberikan right away (langsung) oleh penyelenggara pendidikan,” kata Agus.
“Ketahui bahwa kita punya reasonable accomodation di dunia pendidikan, seperti tambahan waktu ujian, format tulisan diganti presentasi: fleksibilitas yang disesuaikan dengan kondisi psikologis. Jika tidak diakomodasi, penyelenggara pendidikan bisa dikenai sanksi administrasi,” kata Agus.
Ia menuturkan, aturan terkait hak disabilitas mental psikososial sebagai invincible disability masih menghadapi tantangan baik dari pelajar sendiri maupun warga penyelenggara pendidikannya.
Sebab, identifikasi orang dengan ragam disabilitas ini tak bisa secara kasat mata seperti halnya orang dengan disabilitas fisik.
Lebih lanjut, perlu SOP di institusi pendidikan, training bagi guru dan dosen, hingga pemerintah daerah yang seharusnya memiliki unit untuk mengakomodasi pelatihan terkait hak dan kebutuhan warga disabilitas mental psikososial.
Harapannya, siswa dan mahasiswa tidak takut mendapat stigma saat meminta hak seperti cuti karena kondisi dan diagnosis kesehatan mentalnya. Lebih lanjut, mahasiswa juga tak terpikir drop out dan jadi tak percaya akan kemampuannya di masa depan.