“Fungsi guru bimbingan dan konseling (BK), layanan konselor, apakah ada dan berjalan sebagai tempat mahasiswa dan pelajar mengadu? Jika guru BK malah ditakuti, makan pesannya jadi tidak tersampaikan. Seharusnya, ia jadi salah satu tempat ternyaman ceritakan masalah sekolah maupun rumah. Dengan begitu, peserta didik jadi tidak malu dan takut meminta hak dia untuk menyelesaikan pendidikan” tuturnya.
“Fatalnya, orang yang alami depresi 2-3 bulan, pengen keluar kampus jika dibiarkan. Men-DO-kan anak ini berisiko memicu dia merasa nggak bisa jadi apa-apa karena pernah di-DO. Tapi jika diakomodasi sesuai haknya, hingga skripsi, dia bisa berkontribusi besar di masyarakat. Pemahaman ini yang belum banyak dipahami di duniai pendidikan sehingga harus diperjuangkan,” imbuh Agus.
Agus menuturkan, implementasi kebijakan oleh negara dan penghapusan aturan yang diskriminatif bagi disabilitas mental psikososial ini perlu terus dikawal.
“Agar lebih aware lagi, bahwa kondisi dan hak ini tidak hanya dilihat dari perspektif medis saja, tetapi juga hak asasi manusia dalam bekerja hingga mengakses pendidikan,” tuturnya.
Agus menjelaskan, isu kesehatan mental perlu mulai dilihat dengan pendekatan HAM di samping kesehatan, sebagaimana ada hak atas pekerjaan, perlindungan sosial, pendidikan, hingga kesamaan di hadapan hukum.
Harapannya, tidak ada lagi anggapan bahwa orang dengan disabilitas mental psikososial tidak cakap hukum atau bukan subjek hukum karena tidak sama waras seperti manusia seutuhnya.
“Itu satu dari segudang hak yang dimiliki, untuk dilihat sebagai subjek pembangunan juga, karena selama ini dilihat dari perspektif charity. Padahal, tentunya kami ingin kontribusi juga secara sosial, memajukan bangsa dan berdampak ke masyarakat,” imbuh Agus.