Oleh : Andono Wibisono
SUARA Azan itu mengema diiringi takbir, dan jeritan pengampunan di langit yang tiba-tiba berubah merah ke kuning – kuningan. Pukul 18.07 Wita suara panggilan solat magrib berubah menjadi jeritan, tangisan piluh, ketakutan, bahkan suara bagai langit runtuh dan bumi menelan isinya.
Bencana alam di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan separoh Parigi Moutong meratakan semua kesombongan manusia. Skalnya 7,4 skala richter. Semua mencari Tuhan. Semua meminta ampun pada Semesta. Semua tiba-tiba takut kematian dengan cara sekejap meruntuhkan bangunan. Memutar isi komplek perumahan ribuan warga Balaroa. Menyaksikan pohon kelapa, rumah berjalan di atas tanah menabrak dan menelan semua yang ada di wilayah Petobo.
Kini, tragedi manusia yang memilukan lima tahun sudah berlalu. 28 Seotember 2018 – 2023. Kini seperempat warga Kota Palu tinggal di hunia tetap. Baik dari pemerintah dan swasta. Namun, bagi warga Palu yang terdampak langsung bencana namun sebelumnya hanya tinggal di rumah kontrak, kos bahkan Rusunawa menurut sejumlah LSM masih banyak belum memperoleh Huntap. Akankah rintihan tahunan bencana alam kita terus menyaksikan manusia menuntut hak atas kehidupannya?
Pasca bencana, lima tahun lalu, Palu, Sigi, Donggala serta Parimo memperbaiki infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan pengungsi. Palu kini wajahnya telah berubah. Mulai bersih, ruang publik berseri dan sedikit terang di malam hari. Sayangya, Pemkot Palu telah lima tahun tak mampu menyelesaikan fasilitas putaran ekonomi, Mal Tatura di Jalan Emi Saelan Palu Selatan. Sebuah legasy buruk bangunan mangkrak.