Harapan Bagi Pemimpin Baru, Hasil Pilkada di Tahun 2020

  • Whatsapp
Foto: ist

Oleh: Hasanuddin Atjo

Senin, 17 Agustus 2020, bertepatan dengan peringatan hari peringatan kemerdekaan RI yang ke-75, saya cukup lama menunggu di lounge Concordia bandara Sultan Hasanuddin Makassar, menunggu penerbangan ke Palu, di sore hari.
Kesempatan diisi dengan membaca dan menulis artikel terkait dengan Pilkada tahun 2020 yang sempat diundur.

Tanggal 9 Desember tahun 2020 ada 270 daerah di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak memilih gubernur, bupati, walikota. Harapan sejumlah kalangan agar Pilkada serentak di 2020 dapat melahirkan pemimpin daerah yang mampu merancang skenario untuk sebuah perubahan dan kemudian merealisasikannya.

Sejumlah referensi menyebutkan bahwa setidaknya ada lima faktor yang akan menentukan kesuksesan seorang pemimpin daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (tusi) sebagai amanah dari pemilik hak usung dan hak suara yaitu Pola Pikir; Komitmen; Pengendalian diri; Kesabaran; serta adanya dukungan internal dan eksternal.

Pemimpin daerah yang terpilih di Pilkada 2020 tidak bisa lagi hanya sekedar mengandalkan dukungan politik, praktek transaksional, serta unsur populeritas. Namun ini harus didukung oleh unsur kualitas dan integritas yang sebelumnya kurang menjadi salah satu pertimbangan utama. Peran dari pihak pemilik hak usung dalam meloloskan peserta yang akan berkontestasi sesuai harapan itu menjadi penting dan strategis.

Sejumlah realitas memberi petunjuk terkait dengan sinyalemen di atas bahwa sejumlah pemimpin daerah yang telah diberi otonomi daerah sejak tahun 2001, ternyata masih mengalami kesulitan membenahi kapasitas fiskal serta mengurangi ketergantungan dari dana APBN. Ini tentunya menjadi sebuah bahan evaluasi serta pembelajaran yang sangat berharga bagi semuanya terutama pemilik hak usung, hak suara serta penyelenggara Pilkada

Kondisi indeks kapasitas fiskal yang rendah dan ketergantungan dana APBN yang tinggi, diperparah lagi oleh krisis ekonomi akibat Covid-19 ditambah oleh angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang makin tinggi lebih menuntut terakomodirnya figur pemimpin daerah yang memiliki kualitas dan integritas serta pengalaman, agar mampu membawa daerahnya keluar dari. sejumlah persoalan yang semakin Kompleks.

Selain adanya sejumlah tantangan, Indonesia sesungguhnya memiliki kesempatan untuk kebih baik dari saat ini. Berdasarkan hasil analisis Pricewaterhouse Cooper (PwC) memprediksi, bahwa di tahun 2045 Indonesia akan memiliki kekuatan ekonomi peringkat ke lima di dunia dengan Product Domestik Bruto, PDB sebesar 7 triliun dollar AS, meningkat dari 1 triliun dollar AS di tahun 2019. Dan PDB per kapita di saat itu mencapai 23.000 dollar AS dari 4.000 dollar AS di tahun 2019. Ini tentunya memperkuat desakan mengapa Pilkada tahun 2020 dan seterusnya menuntut adanya unsur kualitas dan integritas.

Berdasarkan diskusi politik di ruang publik, ada kesan bahwa saat ini paradigma dari peserta kontestasi bersama partai pengusung, secara politik masih terperangkap pada motivasi dan ambisi bagaimana bisa keluar sebagai pemenang di Pilkada, meskipun dengan berbagai cara. Targetnya menang dulu dan persoalan bagaimana dengan tusi, menjadi urusan berikutnya.

Pandangan maupun cara seperti ini bisa dimaklumi, oleh karena secara umum masyarakat dinilai minim edukasi terkait dengan bagaimana sesungguhnya kriteria pemimpin daerah yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan situasi dan kondisi ekonomi masyarakat dipandang belum mampu menunjang untuk terbangunnya sebuah demokrasi. Dan tentunya ini menjadi sebuah tantangan menuju yang lebih baik.

Namun demikian sejumlah orang yang berpikir maju, peduli dan ingin ada satu perubahan berpendapat bahwa tidak perlu harus menunggu sampai ekonomi atau pendapatan per kapita mencapai 6.000 dollar AS sebagai syarat minimal untuk berdemokrasi. Saat ini pendapatan per kapita baru mencapai 4.000 dollar AS dan tentunya butuh waktu yang masih panjang untuk hal itu.
Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana segenap komponen terkait dengan Pilkada melakukan serangkaian reformasi. Bila hal ini belum bisa direalisasikan maka Pilkada akan datang diharap agar jalur independen diberi kesempatan lebih luas dan dipermudah.

Pandangan ini juga sejalan dengan pikiran Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai pembina politik di negeri ini. Menteri Tito menyoroti bahwa penyelenggaraan Pilkada saat ini sudah sarat dengan politik trasaksional. Menjadi Bupati saja diperlukan cost politik hingga 30 milyar rupiah. Menjadi Gubernur lebih mahal lagi hingga 100 milyar rupiah. Sementara itu gaji kepala daerah selama lima tahun tidak cukup untuk menutupi cost politik tersebut. Karena itu dikuatirkan sejumlah kalangan bagaimana bisa seorang kepala daerah yang terpilih kemudian mampu bekerja dengan baik.

Karena itu menteri Tito beberapa waktu lalu mengusulkan terkait dengan Pilkada berupa pemilihan asimetris. Maksudnya bagi daerah yang memiliki indeks demokrasi tinggi dapat melaksanakan Pilkada langsung. Sementara yang belum dapat melaksanakan Pilkada itu melalui DPRD. Harapannya adalah terpilihnya seorang kepala daerah berkualitas dan memiliki integritas.

Kembali kepada judul artikel diatas, maka sesungguhnya usia bukan lagi menjadi faktor pembatas. Dan sudah dibuktikan oleh beberapa kasus seperti Mahathir Muhamad, meskipun di usia sekitar 90 tahun, secara umum masyarakat masih menghendakinya untuk menjadi perdana menteri Makaysia meski di usia sangat senja. Masih banyak contoh lain yang bisa dijadikan motivasi dan pembelajaran

Dari uraian di atas, maka terpenting dari semuanya bahwa para calon pemimpin daerah yang akan ikut berkontestasi minimal memiliki lima modal dasar. Kriteria ini yang harus disoroti dan menjadi pertimbangan pemilik hak suara pada saat akan menentukan pilihan.

Pertama pola pikir, biasa disebut kerangka berpikir atau mindset dari calon harus terlihat memahami dan mengetahui apa yang jadi problem mendasar dari daerahnya. Dan bagaimana membuat skenario agar bisa keluar dari problem itu dengan memanfaatkan SDA maupun SDM secara berkelanjutan. Biasanya ini dimiliki pemimpin yang visioner adaptif, update dan inovatif. Dan tipenya bisa bekerja sama dan menggunakan “think thank” atau tenaga ahli yang profesional.

Kedua, komitmen dari calon yang akan ikut berkontestasi. Bisa dilihat dari rekam jejak atau trad record bersangkutan. Tidak sulit untuk mengetahui rekam jejaknya. Era digitalisasi, industri 4.0 dengan mudah mengetahui prestasi dan reputasi seseorang. Cukup dengan menggunakan fasilitas Google search maka akan terlihat rekam jejaknya yang menginformasikan prestasi dan reputasinya.

Ketiga, kemampuan pengedalian diri yang bersangkutan benar benar sudah teruji. Terkait dengan itu ada tiga indikator yang bisa dilihat yaitu Ied atau keinginan; super ego yang berperan sebagai referensi apakah keinginan itu dieksekusi atau atau tidak dan terakhir adalah ego yang berperan keberanian memutuskan.
Umumnya calon pemimpin daerah berkarakter seperti ini, memiliki kebiasaan suka membaca, banyak turun ke lapangan dan menerima masukan dari orang lain.

Keempat, memiliki kesabaran teruji. Kadangkala keinginan itu datang secara tiba-tiba bahkan mengebu gebu. Masalah datang silih berganti yang menuntut pemimpin daerah yang memiliki kesabaran agar tidak mudah stres dan frustrasi sehingga tetap dapat membuat keputusan yang tepat, solutif implementatif.

Kelima, dukungan internal maupun eksternal. Kesuksesan seorang pemimpin daerah tidak lepas dari kemampuan yang bersangkutan membangun komunikasi secara internal maupun eksternal. Untuk itu diperlukan art dan knowledge atau seni dan pengetahuan.

Selanjutnya agar pemimpin terpilih dapat menjalankan tusinya dengan baik, maka yang bersangkutan mampu membangun kapasitas 5 K dan budaya kerja 5 AS yang dimilikinya. Kapasitas 5 K yang dimaksud adalah: membangun kompetensi, komitmen, koneksitas, konsistensi dan kecepatan. Dan budaya kerja 5 AS adalah mampu melaksanakan Kerja cerdas, keras, mawas, tuntas dan ikhlas. SEMOGA. ***

Sultan Hasanuddin Makassar, 17 Agustus 2020.

Berita terkait