Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan

  • Whatsapp
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)
banner 728x90

Bukan cuma Lydia dan ketiga anaknya berada dalam situasi rentan saat terduga pelaku mendatangi mereka, mantan suaminya itu seketika mendamprat Lydia dengan tuduhan mengajari ketiga anaknya mengadu, mengoceh kalau Lydia tidak becus mengasuh masa depan ketiga anaknya.

Pengaduan itu tidak memberikan perlindungan bagi Lydia, alih-alih ia dipojokkan, disuruh pulang ke rumah untuk menunggu kabar selanjutnya.

Keesokan harinya, Lydia dan ketiga anaknya diminta datang lagi ke kantor dinas Firawati. Dari proses ini, ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang petugas dari Puspaga, akronim untuk Pusat Pembelajaran Keluarga, unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Belakangan diketahui si petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak. 

Pemeriksaan itu menghasilkan klaim ketiga anak Lydia “tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma” dan menyebut “hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis” serta “keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat.” 

Tindakan Firawati mempertemukan ketiga anak dengan ayahnya—untuk mengecek apakah mereka trauma atau tidak—serta diperkuat pemeriksaan psikologis bahwa anak-anak Lydia tidak menunjukkan tanda-tanda trauma inilah yang nantinya dipakai oleh kepolisian Luwu Timur menghentikan penyelidikan. 

Penanganan di Polres Luwu Timur: ‘Saya Dipaksa Polisi Menandatangani BAP’

Berharap bisa didampingi oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Lydia akhirnya sendirian ketika melaporkan kasus dugaan pencabulan ke Polres Luwu Timur. (Firawati dari Pusat Pelayanan beralasan saat itu sedang rapat dengan parlemen daerah, sementara pendamping lain sedang persiapan pindah kantor dinas.)

Polisi menerima laporan Lydia pada 9 Oktober 2019. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah Puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan. Kemudian, ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog. 

Lydia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut tapi dilarang membacanya terlebih dulu.

Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman. 

Lydia mendatangi kantor Polres untuk menanyakan hasil visum ketiga anaknya. Ia juga sekaligus memberikan satu celana dalam berwarna pink yang terdapat bercak darah atas inisiatifnya sendiri. 

Pada hari Jumat, 18 Oktober, polisi mengabarkan hasil visum dari Puskesmas dan menurut seorang penyidik mengklaim “tidak ditemukan apa-apa.” Pada hari yang sama, Lydia diinterogasi oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum. 

“Saya hanya ditanya masalah sehari-hari. Terus, penyidik bilang nanti dilanjutkan. Dia yang akan isi bagian lainnya karena alasan akan salat Jumat,” katanya.

“Saya disuruh tanda tangan di bagian bawah laporan itu. Saya bilang nanti saya tanda tangan setelah ini dilanjutkan. Tapi, penyidik memaksa saya. Dan saya ikut tanda tangan. Karena sudah siang dan saya mau pulang untuk buat makanan anak-anak.” 

“Nah, saya pikir sekarang, saya jadi bego kenapa saya tanda tangan,” kata Lydia. 

Pekan berikutnya, Polres Luwu Timur mengabarkan perkembangan kasus; bahwa penyelidik telah menginterogasi Lydia, terduga pemerkosa, dan tiga anak korban; telah memeriksa secara medis tiga anak korban beserta hasil visum et repertum; serta rencana selanjutnya ketiga anak itu akan diperiksa secara medis dan psikologis ke Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Sulawesi Selatan di Makassar. 

Kondisi Kesehatan Mental Ibu Korban Dipakai untuk Mendelegitimasi Laporan Pemerkosaan

PADA 28 Oktober, salah seorang anak Lydia mengeluhkan sakit pada bagian dubur. Lydia memotret beberapa luka itu. Dan, lagi-lagi atas inisiatifnya sendiri pada 1 November, Lydia membawa satu celana dalam yang terdapat cairan hijau dan satu celana legging yang terdapat bercak darah ke Polres Luwu Timur. 

Sehari kemudian, penyidik kepolisian menghubunginya jika akan ada pemeriksaan di Biddokkes Polda Sulsel pada 6 November. Saat itu Lydia menerima ancaman dari mantan suaminya, terduga pemerkosa. Ancamannya terduga pelaku akan menghentikan nafkah bulanan kepada ketiga anak mereka jika Lydia meneruskan proses pemeriksaan ke Makassar.

Lydia bersama ketiga anaknya, ditemani salah satu saudaranya, pergi Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Di sini Lydia dan ketiga anaknya dibawa ke ruang tunggu klinik jiwa. Saudaranya yang mengantar ikut diperiksa. 

Di dalam ruangan pemeriksaan ada dua dokter, penyidik, dan seorang staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur.

Saat pemeriksaan terhadap ketiga anaknya, Lydia merekam secara sembunyi-sembunyi lewat kamera ponsel. Anak sulungnya terlihat dipangku oleh seorang staf Pusat Pelayanan yang tengah duduk di sebuah sofa. Ada penyidik, seorang perempuan dan dokter di ruangan pemeriksaan itu. Si dokter kemudian meminta Lydia meninggalkan ruangan.

Saat pemeriksaan terhadap Lydia dan saudaranya, mereka ditanya kondisi kesehatan mental keluarga. Saudaranya ditanya soal kondisi psikologis Lydia sejak kecil dan sewaktu menikah, apakah ada anggota keluarga memiliki riwayat gangguan jiwa? Saat giliran Lydia, dua dokter menanyakan apa punya “kelainan” sebelum bercerai dengan mantan suaminya, serta kondisi rumah tangga mereka dulu. Wawancara dengan Lydia hanya berlangsung 15 menit.    

Hasil pemeriksaan psikiatri ini terbit pada 11 November. Lydia disebut memiliki “gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap.”     

Pada 15 November, terbit surat visum fisik ketiga anaknya oleh tim Forensik Biddokkes Polda Sulsel, yang menyatakan tidak ditemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak Lydia.

Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember. Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember. Surat itu memuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian. 

“Jadi rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, kenapa prosesnya terburu-buru?” kata Rezky Pratiwi, Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar.

Baca Lanjutannya…..

Berita terkait