JAKARTA,– Ibrahim Taut, Ardiansyah dan Mardiana telah datang dari Jakarta. Ketiganya baru saja memenuhi undangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan Jakarta. Tak jelas kapan kapan ketiganya ke Jakarta dan pulang. Ketiganya bungkam dan enggan memberikan keterangan ke wartawan. Sesekali saja hanya menjawab seadanya dan tidak ingin masuk dalam pembahasan kasus yang melilitnya. Yaitu Pengadaan Jaringan Satelit dan Pembuatan Website Desa di 90 desa dan Pengadaan Barang Tehnologi Tepat Guna (TTG) di 115 desa di Kabupaten Donggala.
Khusus pekerjaan yang didasari perjanjian kerjasama (PKS) antara desa dan CV Mardiana Pratama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan kerugian daerah sebesar Rp4,1 miliar. Yaitu dari dana pembayaran TTG setiap desa sebesar Rp50 juta. Khususnya, pekerjaan Jaringan Satelit dan Website Desa data yang dihimpun redaksi belum diketahui apakah ada temuan atau tidak. Tapi kedua proyek ini dikerjakan dan dikelola Ardiansyah, staf honorer dan Mardiana sendiri, juga staf honorer di Pemkab Donggala. Keduanya awalnya pasangan suami istri. Tapi telah berpisah, lantaran proyek ini silang sengkarut dan mengeluarkan banyak uang.
Apa peran Ibrahim Taut. Ia mantan Kepala PMD Kabupaten Donggala. Mengaku bahwa PKS antara perusahaan dan desa telah berjalan. Dirinya juga beberapa kali didatangi kerabat bupati untuk tandatangan tapi selalu meminta waktu konsultasi terlebih dahulu ke atasannya. ‘’Saya pernah dipanggil diminta tanda tangan saja MoU dengan CV Mardiana. Belum sempat yang memberikan telaah staf. Akhirnya kami diarahkan ke bagian hukum di sana dengan Pak DB Lubis. Saya tandatangan. Tapia MoU saya ternyata tidak menjadi landasan PKS desa dan perusahaan. Saya ada buktinya. PKS berjalan duluan. MoU dipaksakan. Mantan Kepala PMD lama saja juga tidak pernah mau tandatangan,’’ terangnya di Palu. Ia pun mengaku hanya diundang komisi anti rasuah. Saya, ujarnya sudah dua kali memenuhi undangan KPK.